Sabtu, 26 Maret 2011

Mungkin "Over Genit "

Betulkah mahasiswa sekarang kurang genit atau terlalu genit, kurang progresif memotivasi keliaran Intelektualnya. Dulunya kritis sekarang sebagian apatis, reaktif bahkan sensitif. Mahasiswa disebut-sebut sebagai golongan pra-mapan ini biasanya independen, bebas dan mandiri. Karena belum terikat dengan siapa-siapa. Cara berpikir pada umumnya kritis dengan platform keilmiahan mereka punyai dan tak mudah percaya begitu saja tanpa menelaah. Saat tampil, menyelami persoalan dengan cara intelek. Semangat ke Maha- siswaan mereka cukup berani kemana saja, karena tak terikat status sosial yang final, ia siap menjadi lokomotif bukan jadi gerbong. Bisa bekreasi untuk melihat beragam dimensi, saat masyarakat sudah jenuh tak peduli membuat kesimpulan sendiri. Saat itu pula mahasiswa membuat tesa baru umum, lagi-lagi atas kebijakan pemerintah kembali dikritik agar tak tertidur. Karena seorang intelek tersimpan gambar-gambar yang “ideal-ideal” dibenaknya apa yang pantas dan apa yang seharusnya.

Belakangan banyak orang menilai gerakan mahasiswa identik gerakan preman “ Premanisme”. Karena fakta akhir-akhir ini memang sulit dibantah. Namun catatan penting semangat menggebu-gebu adalah motivasi terkuat ber “ideal-ideal “ hanya terdapat dalam diri mahasiswa. Anarkisme dengan sikap idealitas itu perlu di garis bawahi. Kalau mahasiswa disebut preman perlu kita ketahui motivasi alas pikir apa status baru itu disandangnya. Kalau seorang preman bersemangat, alas pikirnya apa?. Mahasiswa turun kejalan mengkritisi kebijakan pemerintah betulkah saat ini beralas pikir seperti itu. Atau sama dengan apa yang dimiliki alas pikir preman? Saya sebagai masyarakat awam menilai, tergantung trend opini saja. Mari kita kroscek masing-masing. Kalau alas pikirnya benar sama seperti. Ok, kita ucapkan selamat tinggal sandangan gelar mahasiswa sebagai agen social control, perubahan dan pembaharuan. Maka, kita amini mahasiswa itu adalah betul, preman. Walaupun idealnya dua status aktifitas, dan kata sandang kerja ini bertentangan makna, mahasiswa dan preman. Ini juga muncul kebijakan kampus juga memelihara citra, karena selalu disebut kampus itu kampus preman.

“ Masa chaos adalah solusi,”
Zaman Ini sikap efektif untuk mendapatkan jalan terang dan perhatian adalah “kacaukan”, atau “Chaos”, seperti melawan aparat kemanan saat aksi semisal adalah bentuk reaksi sikap dilapangan butuh keterangan. Karena obyek keritikan menemui jalan buntu. Tugas mengamankan situasi adalah tanggung jawab aparat menjadi beban kocar-kacir, dan serba salah . Mahasiswa benar, semangat bereaksi berlebihan terhadap kebijakan yang belum terlalu berpengaruh terhadap kontrak pribadinya sangat pas untuk pemuda. Apalagi status umur dewasa enam belas tahun keatas sudah dianggap sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama dengan orang lain berkumpul dan angkat bicara. Mengacau, adalah menjadi bahasa untuk menuju pembebasan atau ungkapan depresi menggantikan bahasa oral saat ini. Adalah jembatan penghubung solusi-solusi yang ditunggu-tunggu. Melihat dari sudut pandang kacamata “kuda” saja saya kira kita kurang fair, sosiolog, politikus dan budayawan harus memberi pandaangan atas penomena ini demi tujuan jangka panjang.
Kesan “preman style” makin menjadi-jadi, jika terlalu larut sehingga harapan besar agar tak menghilangkan subtansi mahasiswa pada khususnya, dan kian mengalami kekeringan dipagi buta. Cermin untuk melihatnya sendiri adalah soal “gaya”aksi. Kita masih ingat pemerintah segera susun Protap penaggulangan aksi tembak ditempat setelah peringatan jika itu menakutkan. Siapa lagi yang bisa mengkritik pemerintah kedepan. Kalau pemerintah makin anti kritik tunggulah munculnya tirani berkepala dingin. Kedepan kita bisa mengembangkan sebuah motto, rawatlah kebebasan kita tolak kekerasan. Mungkinkah? Kita coba bikin perbandingan, aksi mahasiswa diluar negeri memang begitu seragam isu yang massif disaat memang mengerucut persoalan inti. Tak lupa pula coba kita kembali persolan dasar yang paling subtansi bahwa usia muda punya kebebasan berpendapat dan angkat bicara.
Kalau mahasiswa berarti bolehlah juga disebut pelajar. Jika anarkis beri skor preman. Jika pertanyaanya begini, apakah mahasiswa sama dengan pereman?. Jawabanya, belum tentu, ataukah preman itu sama dengan mahasiswa, kecuali mahasiswa sendiri menyamakan derajatnya dengan itu. Karena preman belum bisa kita garansi sebutan pelajar. Kecuali ada preman “gaya”, mahasiswa. Jadi dua status yang berbeda antara preman dan mahasiswa jangan dikacaukan. Mengacaukan istilah itu, juga akan sama mengacaukan persepsi kita mahasiswa sebagai pelajar yang terdidik. Sambil kita mencari siapa preman sebenarnya…
Kita tak perlu bicara panjang lebar andilnya dalam sejarah perjuangan para pelajar mahasiswa ini tahun 1920 an 1945. 1950, dan 1998. Karena semua orang merasa sudah paham. Namun dua tanggung jawab mahasiswa adalah mensukseskan pendidikanya dan mematangkan cara berpikirnya lewat gerakan kepekaan moral dan social agar menjadi pribadi pembangun. Bahkan dalam essai pikiran muda Nurkholis Madjid “Islam Kerakayatan dan Ke Indonesiaan 1994” menyebutkan secara sosiologis mahasiswa adalah bahan manusia terbaik dalam suatu bangsa. ( The best human material of Nation) dia disebut sebagai elit strategis (kutipan essai pikiran Cak Nur) maka dari itu banyak kalangan elit mapan kepincut berebut hati ingin menguasainya segala macam cara. Kelompok kelas mapan ini ingin memanfaatkanya, Karena gerakannya memilki kelas pendongkrak.
Sejarah beberapa negara lain seperti terlibatnya peran mahasiswa menumbangkan rezim dictator Rhee Korea Selatan, pergantian perubahan militer ke sipil yang demokratis di Muangthai. Itu menunjukkan gerakan itu efektif dan menakjubkan. Namun satu catatan penting hulu-hulu sungai kecil saya, mahasiswa memilki kebebasan berpikir dan bertindak yang ideal-ideal. Tanpa melemahkan dengan isu siapa dibalik lorong gerakan yang ada, yang penting mahasiwa selalu mau menemukan fakta peran gerakannya sendiri.

( Subhan Makkuaseng 4 November 2009.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar