Kamis, 13 Desember 2012

Mozaik

Dibawah Lampu Teater

Foto Dok UKM Seni UMI. Teater Tangan " Kupartai Batu"

(Catatan Subhan Makkuaseng Mei 2012) 

Dibawah lampu ternyata kami bercerita tentang teater. Seni pertunjukan teater  di Makassar akhir-akhir ini-pun kurang bergairah. Sehingga tak ada lagi pertunjukan teater yang benar-benar serius.

Alasan ketak seriusan itu, pertama karena menurunnya keberanian, lesu dan lemas. Dan sepertinya teater adalah menjadi sesuatu yang sia-sia untuk dipikirkan bersama. Kedua karena sampai saat ini tak ada kontribusi atas masyarakat atau penggemarnya. Faktanya, bekerja dalam teater kurang banyak bisa meraup untung. Baik secara financial kecuali hanya kepuasan bathin.

Cita-cita tentang idealnya dan indahnya berteater, yah tetap saja terasa nihil dan tak berkembang jauh menuju proses kreatifitas dan kemandirianya. Apakah berteater adalah pekerjaan, atau sekedar hoby.
Sepertinya, ini tak perlu di Jawab..  

Menurut saudara Bram, apakah Teater masih dibutuhkan? Asumsinya,  biarkan teater seharusnya sampai ketitik koma, atau dan betul-betul mati sama sekali. Sehingga publik menpertanyakan  ulang kembali apa sebenarnya itu teater. Kalau perlu, bertanya siapa yang telah meninggal beberapa tahun lalu itu?. Artinya jika nanti kita tak mempertanyakan lagi. Ini berarti benar-benar, bahwa teater tak dibutuhkan.  

Itu berarti tunggu bisikan bahwa, “ KITA BUTUH TEATER”. Maka membiarkan sampai ketitik kosong sama sekali.  Walaupun pada dasarnya di kota-kota besar masih saja ada pertunjukan digelar digedung-gedung pertunjukan. Dan untuk kota Makassar ini mungkin kita istirahat dulu, sambil menyaksikan berkembangya pembangunan mental dan fisik kota ini.

Kata Mamat Mariamang, ah sama saja dimana-mana juga kegelisahanya sama. Disini dan disitu. Dan problem semua komunitas mengatas namakan kelompok teater tetap sama. Hidup professional, cari duit, dan menghidupi teater.

Kata Mamat Mariaman penggemar teater, dari teater tangan ini.
Walaupun pada dasarnya banyak yang berpendapat. Bahwa teater itu tak pernah dipikirkan secara professional, seperti mengelola penonton, mengelola actor, dan me manage secara professional pertunjukan.

Sisi lain, bahwa teater adalah ritual dan spiritual. Tapi apakah ini betul ada?
Yang terakhir, bekerja di teater adalah pekerjaan kurang menguntungkan. Tak sama dengan pekerjaan lainya, seperti bertani, berdagang, atau jadi politikus, dan birokrasi pemerintahan. Dan  mau tak mau, kita harus jujur mengakui hal itu.

Apalagi ditengah-tengah promosi besar-besaran produk hiburan lain yang rata-rata berkolaborasi dengan iklan industri besar. Teater, banyak tak berani atau tanpak malu-malu kucing untuk menyentuh wilayah itu. Padahal kadang juga sih, ia terkam dengan cara diam-diam.
Santap saja Coy...

Karena alasanya, wilayah itu sangat mengerikan. Dan akan meracuni Idealisme teater. Atau sebaliknya indutri mencap bahwa teater itu egois. Makin lama, jurang makin terpisah antara mereka berdua. Mengusung idealisme, dan mengusung sponsor.

Padahal bagi pekerja teater serius. Semua adalah butuh duit.
Di Makassar ada kurang lebih 40 an kelompok seni kampus yang “berbiji” teater (coba ricek group facebook Pekerja Seni Kampus (PSK), perkembang biakan ini terjadi kira-kira mulai pada tahun 2004 menyusul beberapa event yang selalu dihelat dengan garapan memang alasan teater kalimat ”Kita juga harus berteater” .  

Ini terkait soal jumlah komunitas. Namun terkait dengan kualitas dan keinginan tuk serius. Saya sama sekali tak tahu.
Kenapa generasi terakhir, tak pernah mau memilih teater sebagai suatu hal yang menyenangkan. Tak ada yang bisa disalahkan. Sebab semua, mau tak mau tak ada sama sekali orang mau bekerja dengan sia-sia seperti mengerjakan teater. Akan tetapi zaman kontemporer ini saya selalu menafsirkan berdeda. Bahwa semua sah-sah saja, tak ada yang tak dibolehkan berpikir tentang teater, dan tak berpikir teater. Entah itu sudut pandang positif atau negative. Karena kedua-duanya punya alasan.

Apalagi honor teater mau dijadikan sebagai sumber penghasilan tetap. Mana mungkin bisa hidup kaya dengan teater. Disusul, tak ada alternative gerakan terbaru buat teater. Seperti apa yang dialami kelompok teater profesional yang ada di  Kota Besar Jakarta. Akan tetapi diluar dugaan apa yang dilakukan Nano Riantiarno, dengan bukti “ KOMA” eksis dengan jalan hidup teater dan mampu menghidupi kelompok teaternya.

Keraguan seperti ini sebenarnya, mirip apa yang terjadi pada tahun 1970-1980 an di Kota besar Jakarta . Ketika Nano hanya menghabiskan uang dengan teater.  Kemudian WS Rendra dengan “BENGKEL RENDRA”. Dan memilih cara berpikir berkebun sambil main teater.


Selasa, 30 Oktober 2012

Hasan : Pulau-kepulau kapal kayu.


Angin dan ombak seperti kitab petunjuk untuk menjalankan pekerjaannya sebagai pekerja jasa transportasi laut dari pulau kepulau. Keputusan hari itu ialah  berangkat segera dan tiba esok hari dengan selamat dipulau yang dituju.

Pada Bulan 7-9 2011 perairan Selayar, ombak bisa menggulung perahu dan menenggelamkanya. Itulah kepercayaan orang-orang laut diperairan Selayar. Musim ini ada musim ombak meninggi. Artinya ombak selalu tinggi saat ini. Bahkan keterangan warga, biasanya ombak mencapai 10-15 meter dan mampu mencengkram badan perahu.

Laki-laki usia 40 tahun itu bernama Hasan, ombak setinggi itu katanya sangat begitu lumrah. Hasan tak gentar, karena ia sudah mengandalkan pengalaman selama puluhan tahun sebagai pelaut. Perjalanan rute laut utamanya, Bonerate dan Kalotoa, pulau yang dikenal terluar dari kepulauan Sulawesi bagian selatan. Jika cuaca buruk, jarak tempuh kurang lebih satu hari satu malam dari Kabuapaten Selayar, Jika cuaca normal bisa sampai 13 jam dari dermaga Benteng, kota Selayar.

Hasan berpengalaman menahkodai kapal transportasi manusia dan barang antar pulau-pulau sekeliling Selayar kurang lebih puluhan tahun. Berbekal pengetahuan arah mata angin, ia bisa menguasai keadaan, dan tahu arah gerakan gelombang. Atau bahkan mereka berlayar hanya melihat bintang malam hari.  Kadang tak membawa kompas. Mereka hanya melihat jenis-jenis pulau yang pada umumnya mereka sudah kenal, kata Ihsan. Warga Bonerate.

Hasan dikenal pengemudi perahu angkut penumpang dan barang paling berani dipulau ini. Dia menahkodai perahu kayu ukuran panjang kira-kira  lebar 7 meter dan panjang 20 meter. Dengan empat kekuatan mesin.
Saat itu Hasan berangkat pukul 09.00 pagi, padahal satu hari sebelumnya dilarang berangkat oleh petugas perairan laut, gara-gara kelebihan muatan penumpang.

Pukul 16.00 sore hari, kami berhenti.  Dan anak buah kapal menjatuhkan jangkar kelaut dekat pulau Appatana ujung Selayar. Pulau ini memang selalu ditempati pemilik perahu istirahat, jika malam hari.  Karena dari pulau ini ia akan melintas perairan yang dilalui arus, sekaligus menghindari ombak laut tengah. Lampu dari mesin generatorpun dinyalakan. Kami beserta penumpang bermalam dekat pulau ini.
Selain perahu milik Hasan, terlihat dua kapal kayu terparkir sementara dekat pulau ini. Sepertinya mereka juga istirahat. Alasan tak melanjutkan perjalan, karena khawatir, jika benar-benar ombak meninggi. Dan apalagi perjalanan malam hari, tak terlihat jelas tanda-tanda keadaan. Termasuk, adanya kayu besar yang hanyut.  Saya ikut ngobrol bersama penumpang. Mereka  menceritakan banyak hal tentang pulau terluar kota Selayar ini.

Besok pagi kapal kembali melanjutkan perjalanan. Memotong jalur diatara dua pulau lainnya melewati arus air yang berbahaya.

Rabu, 24 Oktober 2012

Berawal dari "Prita"


Harus berhadapan dengan hukum atas pencemaran nama baik rumah sakit OMNI yang harus menjaga martabatnya sebagai rumah sakit mewah. Ini soal konflik Prita Mulyasari terungkap masuk lewat dunia maya, ahirnya ini menjadi petunjuk untuk mengungkap kasusnya yang nyata bisa di meja hijaukan.

Dinegara maju sistem online dipercaya lebih agresif dan praktis, termasuk belanja, mengirim kado ulang tahun kepada kekasih dan sahabat sangat efektif. Juga menggantikan surat menyurat saat jadi pelajar dulu. Tak perlu lagi membeli kertas warna warni lembut yang bergambar kembang dan mengirimnya lewat kartu pos. Juga tak ditemukan lagi ilustrasi cerpen majalah-majalah remaja bergambar surat-suratan. Kita jadi tergantung dengan alat buatan manusia ini.

Soal informasi terbaru baru aku tahu kalau ada kabar anggota DPR plus MPR, gara-gara media online seperti ini. Karena beberapa hari ini aku malas nontong siaran TV dan baca koran pagi. Anggota legislatif kita ingin menyaksikan langsung yang “nyata”, mengunjungi negara lain dalam rangka studi banding. Pengguna Internet terlibat bereaksi, dan meminta legislatif itu menggunakan saja pasilitas layanan internet untuk studi banding. Internet mengajarkan orang berperan sempit tapi kerja praktis. Termasuk menpelajari etika (Ilmu kurang lebih yang aku tahu: bagaimana seharusnya berbuat) pada sistem demokrasi negara moderen katanya dari Yunani kota berperdaban tua itu. Padahal seharusnya agenda serius studi banding,ss bisa mengurangi beban termasuk jika biaya keluar negri harus dilakukan anggota legislatif mengatasi konflik-konflik dan masalahnya. Dibanding mengakses internet dan membanding-bandingkan etika Yunani dalam kantor dan dalam rumah saja.

Mereka boleh memilih, tapi masyarakatpun wajar mengkritisi dimasa-masa teknologi ini apalagi studi bandingnya terkesan jika ada kebutuhan personal. Bukan serius mewakili rakyat. Di negara maju sudah banyak memakai system on line untuk belanja sehari-hari. Kecuali mungkin Umrah ketanah suci sistem online bisa jadi hal ini tak berlaku. Kita bisa dimarahi orang-orang Islam sedunia jika ada ziarah online. Karena ziarah spiritual seperti haji, butuh merasakan langsung sejarahnya. Kecuali konsep cara bertuhan para sufi yang mirip dunia maya.

Dari Koran harian dan kabar online ini banyak mengkritik keberangakatan itu sebab, persoalan dalam negri juga cukup serius harus diurus. Sementara studi banding saat ini mulai disebut buang-buang anggaran negara saja. Namun kabar terus berkembang apa mau dikata ternyata soal studi banding sudah dianggarkan.
“ Wakil rakyat kita bodoh, kenapa harus belajar etika dinegri orang, apakah selama ini kita tak punya etika dalam negri sendiri,” Kata Pak Natsir yang ngotot celoteh tak mau tahu sama sekali ilmu etika tergolong canggih sekelas barat. Celoteh itu saya dengar dari pos ronda samping kost saya.
Kesibukan kerja moderen orang-orang mengharuskan mengakses banyak informasi tambahan lewat internet. Bukan dunia nyata saja, karena dunia nyata berubah menjadi dunia maya dan digantikan oleh laporan dan perangkat internet menjadi dunia yang sungguh-sungguh ada menemani hari-hari kita. Anda dan saya pastinya harus terlibat biar tak tertinggal jauh biar tak gaptek.

Hanya saja yang berbeda didunia nyata, kita bisa melakukan gerakan pisik membuat separuh badan kita bisa berolah raga. Dan sekaligus sedikit meminimalisir radiasi teknologi jika terus terusan akses internet. Pisik kadang membutuhkan gerak otot-otot tak cuma ditempat duduk melulu namun bersososialisasi dengan tetangga, juga saudara se-adam dan se-hawa pasti kita bisa menikmati dunia natural ciptaan tuhan ini indah.

Kebebasan berpendapat saja memilih sebuah jalur khusus yaitu dunia maya. Minimal mengurangi rasa pesimisme dan kekecewaan yang menumpuk dan membebalkan otak.
Tapi, betulkah? dunia maya seperti ini mengikis rasa empati kita didunia nyata. Allahu Wa,lam tuhan luar biasa menciptakan otak kepada kita semua. Namun menurut rekan saya kita akan kembali, tergantung kebutuhan dan latahnya tubuh kita. Karena manusia selalu ingin bervariasi dalam hidup ini. Dan kelak kita ingin merasakan langsung tubuh yang lainya didunia yang sesungguhnya. Ramalan tentang teori ini terdapat dalam film yang pernah kutonton diperankan Will Smite. Ketika robot-robot menguasai bumi, dan keputusanya robot ini mampu menciptakan keteraturan menjaga kedamaian dibandingkan manusia. Dan saat krisis, robot ini melanggar karena ingin bercinta. Ini mitos pencitraan yang coba dibangun manusia teknologi zaman ini. Dan ternyata ia ingin merasakan cinta seperti apa yang dilakukan manusia pada umumnya.

Subhan Makkuaseng Makassar, 2010.

Orang Sulawesi tidak tahu “Logat”


Lazim kita dengar pernyataan sehari-hari kata “logat” identik dengan dialek Jakarta. Ketika orang  sini (Sulawesi) mengatakan “logat” atau  “berlogat”, itu artinya orang yang ditunjuk adalah orang yang menggunakan bahasa dengan dialek Jakarta. 

Maka, jangan heran jika kita mengatakan bahwa orang Sul-sel tak tahu logat. Ini betul, kenapa demikian? sebab pengertian orang Sul-sel tentang logat itu adalah dialeknya orang-orang Jakarta. Misalkan kata-kata ‘ Ellu’, ‘gue’, ‘sono’ ‘kemaren’  dan lain-lain. Ini logat, kata orang-orang Sulsel.Pengistilahan logat bagi orang Sulsel ini adalah penanda untuk orang-orang Jakarta saja.

Siaran informasi media cetak dan lebih-lebih siaran elektronik nasional  menyiarkan banyak hal tentang Kota Jakarta sebagai lambang kota, sekaligus memproduksi logat. Maksud saya logat Jakarta.Sinetron remaja menguasai siaran nasional saja banyak menggunakan dialek sehari-hari Jakarta sana, sehingga logat itu dikenallah sebagai bahasa orang Jakarta. Walaupun kita tahu sebenarnya bahasa pasaran sehari-hari orang sana ( Jakarta) adalah banyak dari bahasa  campuran Betawi.Logat Jakarta ini juga menjadi penanda komunikasi atas perilaku, dan tingkah laku gaya hidup ke Jakartaan gaya hidup kota besar.

Makassar misalkan, mengunakan bahasa Indonesia secara lisan ditambahkan atau dikurangi, bahkan kawasan timur lainya seperti Maluku, atau Papua malahan di bolak-balik.   Sama seperti penambahan “ mi”, “ ki”, “di ”, “ko”  dan sebagainya. “Kamu kah”,  “ia kah” , “janganmako” atau “jangmaki”, dengan penekanan birama yang beda. Sudah ‘mi’ artinya = sudah dilakukan. Contoh lain, masuk ‘ki’= masuklah. Untuk bolak balik, ‘Makan sudah’= Sudah makan. ‘Pergi sudah’= Sudah pergi, seperti ujung pulau Sulawesi bagian utara, Menado, Palu dan atau Ambon, Ternate serta Papua.

Jadi yang mana kita maksud bahasa Indonesia? Kesimpulan saya bahasa akan terus berkembang dan dikembangkan. Dan bahasa sebagai alat komunikasi kita ini makin bergerak. Mana logat dan mana dialek/ akhirnya bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk disepakati bersama atau mesti seragam. Bukan bahasa persatuan, atau disatukan. Bahasa yang baik dan benar bagi masyarakat Indonesia pada umumnya adalah bahasa yang bisa dipahami. Melalui interaksi kesepahaman pengertian.  

Catatan Subhan Makkuaseng, 20 September 2010.

Selasa, 23 Oktober 2012

Melihat Suara Mendengar Rupa



Perbincangan ini sebenarnya saya mengawali dengan beberapa perenungan cuplikan saya bersama beberapa pernyataan teman-teman saya dikampus dulu salah satunya saudara Mursalim. Sesering mungkin ia mengatakan tentang konsep sufistik mendengar rupa melihat suara atau sebaliknya melihat suara mendengar rupa. Namun kesimpulan saya saat ini. Tetap menyatakan bahwa kebenaran atas kalimat itu ada dibalik pernyataan bagi pemilik kata-kata ini.

Setiapkali aku menanyakan ulang tetap saja tak memuaskanku atas jawabanya. Bahkan aku selalu berkata dalam hati pernyataan itu tak masuk akal sekali, hanyalah rangkaian kata-kata yang membingungkan. Sebab mana mungkin bisa mendengarkan rupa dan mana mungkin bisa melihat suara.
Suara itu berbentuk apa. Dan rupa itu bersuara apa?

Kembali lagi salah seorang teman saya bernama A. Ikhdar (Cupus) dari Sanggar Al Farabi Bulukumba rencana akan melakukan pertujukan seni dengan dengan tema “melihat bunyi” dan meminta saya untuk membuat prolog tentanng pertujukan seni mereka. Lewat cerita cerita biasa chatting on line. Dan saya juga mengatakan bahwa saya kurang tahu bagaimana membuat sebuah prolog hanya menggunakan kata-kata namun kata-kata itu hanya pemiliknya yang tahu pernyataan itu. Maka kubuatlah pernyataan ini, namun aku tetap kurang yakin bahwa apa maksudnya pernyataan ini maka kutuis seperti ini:

Memandang ke-dalam suara dan mendengar ke-dalam warna. Masukkanlah kejiwamu juga jiwaku. Seperti melihatku pada cermin juga cermin dirimu, dan diriku.
Dendangmu pada air sungai ini. Juga pada laut yang akan kau datangi akan menyambutmu. Muara selalu mengajak kita bicara, dimana engkau membawa tawarnya darat juga rasa asinnya laut. Cerita inipun dimulai oleh orang-orang sebelum aku.
Ketika hujan turun, ia merembes pada pucuk daun. Juga turun melewati ranting dan dahan. Dan air itu bekerja pada akar-akar dalam tanah.
Disana ada warna yang berbunyi, juga disana ada suara yang berwarna.
Lihatlah “suaranya” bergerak, dan “dengarlah” warnanya berbunyi.
Merah, hitam, kuning, putih telah menjelma jadi kristal-kristal dihalaman belakang.
Huruf-huruf lontar bercerita bentuk masa lalu.
Namun hampir kita membuangnya jauh-jauh karena mesin waktu tak pernah istirahat.
Aku mencarinya pada angin, juga mencarimu pada kobaran api, juga mencarinya dalam kubangan tanah, juga pada pusaran air.
Ah,
Menjelmalah Aku…
Tanpa mata, kau akan mendengarnya. Tanpa telinga kau akan melihatnya..
“Mendengar bunyi melihat warna”
Kau akan merasakan jejaknya berlari berkejaran dalam sukma.

Alhasil bahwa perenungan ini tetaplah tak memberi jawaban yang memuaskan. Akan tetapi dengan upaya seperti ini ibarat sebuah jembatan untuk mencoba lebih jauh, atau bahkan mencoba lebih dekat.

(Makassar, 23 Sepetember 2012)