Rabu, 24 Oktober 2012

Orang Sulawesi tidak tahu “Logat”


Lazim kita dengar pernyataan sehari-hari kata “logat” identik dengan dialek Jakarta. Ketika orang  sini (Sulawesi) mengatakan “logat” atau  “berlogat”, itu artinya orang yang ditunjuk adalah orang yang menggunakan bahasa dengan dialek Jakarta. 

Maka, jangan heran jika kita mengatakan bahwa orang Sul-sel tak tahu logat. Ini betul, kenapa demikian? sebab pengertian orang Sul-sel tentang logat itu adalah dialeknya orang-orang Jakarta. Misalkan kata-kata ‘ Ellu’, ‘gue’, ‘sono’ ‘kemaren’  dan lain-lain. Ini logat, kata orang-orang Sulsel.Pengistilahan logat bagi orang Sulsel ini adalah penanda untuk orang-orang Jakarta saja.

Siaran informasi media cetak dan lebih-lebih siaran elektronik nasional  menyiarkan banyak hal tentang Kota Jakarta sebagai lambang kota, sekaligus memproduksi logat. Maksud saya logat Jakarta.Sinetron remaja menguasai siaran nasional saja banyak menggunakan dialek sehari-hari Jakarta sana, sehingga logat itu dikenallah sebagai bahasa orang Jakarta. Walaupun kita tahu sebenarnya bahasa pasaran sehari-hari orang sana ( Jakarta) adalah banyak dari bahasa  campuran Betawi.Logat Jakarta ini juga menjadi penanda komunikasi atas perilaku, dan tingkah laku gaya hidup ke Jakartaan gaya hidup kota besar.

Makassar misalkan, mengunakan bahasa Indonesia secara lisan ditambahkan atau dikurangi, bahkan kawasan timur lainya seperti Maluku, atau Papua malahan di bolak-balik.   Sama seperti penambahan “ mi”, “ ki”, “di ”, “ko”  dan sebagainya. “Kamu kah”,  “ia kah” , “janganmako” atau “jangmaki”, dengan penekanan birama yang beda. Sudah ‘mi’ artinya = sudah dilakukan. Contoh lain, masuk ‘ki’= masuklah. Untuk bolak balik, ‘Makan sudah’= Sudah makan. ‘Pergi sudah’= Sudah pergi, seperti ujung pulau Sulawesi bagian utara, Menado, Palu dan atau Ambon, Ternate serta Papua.

Jadi yang mana kita maksud bahasa Indonesia? Kesimpulan saya bahasa akan terus berkembang dan dikembangkan. Dan bahasa sebagai alat komunikasi kita ini makin bergerak. Mana logat dan mana dialek/ akhirnya bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk disepakati bersama atau mesti seragam. Bukan bahasa persatuan, atau disatukan. Bahasa yang baik dan benar bagi masyarakat Indonesia pada umumnya adalah bahasa yang bisa dipahami. Melalui interaksi kesepahaman pengertian.  

Catatan Subhan Makkuaseng, 20 September 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar