Makalah ini adalah presentase kelompok pada mata kuliah filsafat hukum program pasca sarjana Universitas Muslim Indonesia Makassar Sabtu/23/2/2013. Makalah ini adalah kutipan dari penulis Dika Afrizal 2012.
Presentase Makalah: Muh. Subhan, Januddin, Fitriani Abdillah, A. Nur Fadhillah, Andri Surahman, Aziz. AT, Hasmawati.
1
Latar
Belakang Masalah
Pesatnya informasi
dan teknologi pada abad ke 20 ini dan pada umumnya sulit untuk diikuti oleh
sektor lainya menyebabkan orang berpikir ulang tentang hukum. Dan mulai melihat interaksi dan memutuskan
antara sector hukum dimana hukum tersebut diterapkan.
Ketika mendengar
beberapa pemberitaan lewat media. Pandangan masyarakat awam mengatakan bahwa hukum
bisa diperjual belikan. Kalau kita memiliki kekuasaan hukum bisa sesuaikan
dengan kehendak kekuasaan yang kita miliki. Benarkah demikian? Lantas apa itu
hukum, dan apa itu budaya hukum dalam
masyarakat Indonesia.
Masalah hukum dalam masyarakat bukan saja menjadi
persoalan bagi kalangan yang membedakan atau mempertentangkan hukum dan
masyarakat, akan tetapi juga kalangan yang membedakan kaidah dengan fakta.
Ada juga yang mengatakan bahwa budaya hukum identik dengan ketaatan hukum.
Apa yang dimaksud “budaya hukum” adalah
keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana system hukum memperoleh tempatnya
yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Sehingga
sepenuhnya hukum itu bisa ditaati dan daya kerja hukum sesuai dengan keinginan
masyarakat pada umumnya.
Budaya hukum bukanlah apa yang secara kasar
disebut opini publik para
antropolog, budaya itu tidak sekedar berarti himpunan fragmen-fragmen tingkah
laku (pemikiran) yang saling terlepas, istilah budaya diartikan sebagai
keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum.
(Soerjono
Soekanto, hukum dan masyarakat universitas Airlangga 1977 : 2) Sehubungan dengan
catatan tersebut diatas maka untuk pembahasan pembudayaan hukum hanya akan
dibatasi pada bagaimana membudayakan hukum yang dibuat dan diterapkan oleh
Pemerintah, inipun sifatnya teoritis.
Untuk memperoleh dasar pembicaraan maka perlu
ditegaskan terlebih dahulu apa yang dinamakan hukum diperbagai bidang kehidupan
masyarakat yang telah melembaga. Mengutip pendapat Van Apeldoorn pernah
menyatakan bahwa hingga kini para yuris masih mencari definisi hukum tanpa
hasil yang memuaskan, akan tetapi supaya pembicaraan tidak simpang siur, perlu
adanya pegangan sementara oleh karena itu, maka dibawah ini akan diberikan
beberapa arti hukum sebagaimana diberikan oleh masyarakat.
1.
Sejauh mana budaya hukum bisa dikaji dalam
filsafat hukum
2.
Sejuah mana masyarakat dianggap tahu tentang
hukum, memungkinkan efektifitas hukum berlaku bagi masyarakat.
Karakteristik
kajian filosofis hukum.
Kajian filosofis
hukum atau kajian filsafat hukum membahas tentang pandangan hukum sebagai
perangkat nilai ideal, dalam rangka pembentukan, dan pelaksanaan kaidah hukum.
Kajian filosofis adalah kajian sifatnya
ideal. Kajian ini diperankan oleh filsafat hukum. Atau “law in ideas”
Jika dalam kasus
pencurian misalnya dalam kajian filosofis objek bahasanya bukan lagi unsur dan
beratnya sangksi yang diatur dalam KUHP Pasal 362, tapi aspek edeal dan moral
daripada pencurian itu. Pertama mengapa pencurian dikategorikan sebagai
kejahatan, dan bukan pelanggaran. Apakah berat sangksi yang diancamkan oleh
Undang-Undang terhadap pelaku pencurian sudah adil atau tidak adil. Dan apa
dasar moral pembenaran dikenakan sangksi pidana bagi pelaku pencurian.
(kutipan dalam
buku Ahmad Ali (2012): menjelajahi
Kajian Empirisme terhadap Hukum) Sisi
lain selama ini kita ketahui bahwa hukum ada norma atau kaidah-kaidah
tertulis dan tak tertulis. Dalam kajian normativ hukum. Misalnya dalam KUH Pidana dalam pasal 362
yaitu.
b.
Yang mengambil barang orang lain,
c.
Dengan maksud memiliki,
d.
Dengan jalan melawan hukum.
Kalau perbuatan
dilakukan terdakwa ditentukan oleh Pasal 362 KUH Pidana, berarti tedakwa telah
terbukti bersalah melakukan pencurian.
Menurut Soharjo Ss
(1994) filsafat mencakup tiga bidang permasalahan. (Kutipan dalam diktat
Filsafat Hukum Kamri Ahmad SH, M.Hum. 2009.
a.
Problem kenyataan. Metafisika manusia dan alam
sekitarnya.
b.
Problem pengetahuan. Teori kebenaran, teori
pengetahuan, epistemologi,dan logika.
c.
Problem nilai. Dan teori nilai meliputi: Etika,
Estetika, dan keagamaan.
Hukum sebagai
seperangkat kaidah yang mengatur manusia
baik secara tertulis maupun yang tak tertulis. Dan filsafat hukum tak akan
berhenti pada satu titik saja apabila untuk menemukan kebenaran hukum.
Sangat tidak mudah
untuk menemukan kebenaran hukum karena objeknya yang sangat dinamis. Itulah
sebanya ada yang dikatakan sebagai ruang dan waktu. Boleh jadi pada suatu ruang dan waktu tertentu, tidak
berkesesuaian dengan ruang waktu yang lain. Misalkan hukum pada masa colonial
tidak sama hukum masa sekarang. Begitupun dengan tempat, misalnya lingkungan
kuasa berlakunya hukum nasional kita, tidak sama dengan lingkungan kuasa
berlakunya nasional negara lain. Seperti negara lain seperti Singapura Malaysia
atau Amerika.
Menguji Teori Talcot Parson dalam teori
sibenetika, bahwa semua persoalan saling terkait satu sama lainya.
Kemudian hukum
ibarat raksasa yang siap baku hadap-hadapan dengan ilmu lainya seperti ilmu
politik, ilmu social dan ekonomi. Hukum harus dikedepankan. Ada juga yang
berkata politik harus jadi panglima, lalu ekonomi harus didepan sebab segala
sesuatunya adalah terkait dengan soal kesejahateraan. Contoh kasus seorang
nenek tua tak akan menimpa kasus pencurian biji coklat, jika nenek tersebut
memiliki banyak uang ia tak mungkin ia mencuri biji kakao. Begitupun sebaliknya
ada juga orang kaya atau pejabat besar memiliki harta banyak tapi ia melakukan
korupsi. Jadi hal tersebut bisa jadi adalah tersangkut paut dengan soal
perilaku hukum dan taat hukum. Masuk dalam ruang lingkup kajian moral.
“Sekumpulan aturan
atau seperangkat norma yang dibentuk oleh lembaga formal, dengan tujuan untuk mengatur
masyarakat. Yang apabila dilanggar akan menimbulkan sangksi” demikianlah
rata-rata pada umumnya yang kita dapati pengertian hukum. Dan sisi lain ada
juga pakar ahli juga yang mengatakan bahwa hokum sangat sulit untuk
didepenisikan karena memiliki banyak segi.
Dan jika apabila
sebuah norma dan aturan tersebut terkontak dengan panca idra kita sedemikian
rupa, sehingga menciptakan sesuatu dalam otak menciptakan keadaan mental dalam
diri kita. Yang mempersepsikan aturan tersebut. Apakah persepsi kita selaras
dengan aturan apa yang dimaksud tersebut diatas atau tidak. Apakah pikiran
begitu saja menerima hal-hal tersebut diatas. Apakah hasil persepsi tentang
norma akan berkesesuian dengan realitas, ataukah apakah pikiran kita menolak
realitas tersebut atau tercerminkah dalam realitas dalam gagasan-gagasan
tersebut.
“Apakah ini, apakah itu? Inilah selalu pertanyaan
kita tentang sesuatu”.
Terkadang indra
kita sangat menipu diri kita sendiri. Contoh kecil saja saya melihat seseorang
guru memukul muridnya disekolah. Karena ada sebuah aturan yang mengatakan bahwa
guru adalah pendidik dan Pembina. Namun dalam setiap pemukulan tersebut apakah
ada jaminan bahwa sang guru tersebut tengah mengajari anak muridnya. Atau
seorang mencuri X adalah seorang perempuan perempuan. Ternyata belakangan
ternyata adalah seorang waria. Panca
indra kita tak mampu menjangkau sesuatu dibalik semua ini. Misalkan saja
kita melihat hakim, polisi, jaksa atau pengacara bersifat kepapakan, berwibawa
dan bertindak adil. Persis seorang politikus berbicara atas nama rakyat tapi melakukan pemerasan.
Secara garis besarnya problem tersebut tak mudah dipecahkan hanya mengandalkan
panca indra kita dan pengamatan kita. Atau seorang pencuri bisa saja bersembunyi
dbalik sebuah aturan.
Problem diatas
telah memberi pemahaman kepada kita bahwa persepsi bisa melanda siapa saja,
kapan dan dimana saja. Persoalan persepsi terkait denga latar belakang
seseorang meilhat soal hokum. Ketika kita menetukan secara seragam “ Apakah
hokum itu”. Maka setiap mazahab dan setiap aliran akan memberikan argument dan
jika kita perdebatkan maka berhamburanlah perbedaan perbedaan yang makin jauh
menyimpan dengan apa yang kita inginkan. Atau keributan yang memalukan
bagi para pakar. Contoh Van Apeldorn,
seorang pakar hokum belanda 1960-1970 karyanya menjadi buku wajib bagi pergruan
tinggi. Seperti dikatakan Ahmad Ali, menyitir pendapat Soenaryati Hartono,
bahwa sejak tahun 1970 an buka Van
Apeldorn dinegara asalnya yakni Belanda sudah tidak menjadi literature utama.
Menurut Van
Apeldorn, dalam masyarakat ditemukan satu kelompok orang, mereka disebut
sebagai. Dan mereka percaya bahwa hokum hanyalah Undang-undang saja. Atau
istilahnya “ Ontwekkelde dan the man on the steet.Namun hokum juga
terwujud dalam diri polisi, hakim, jaksa, pengacara, dan lain-lain. Menyangkut
soal Apeldorn terkait dengan apa yang kita singgung yaitu soal persepsi.
Asumsi bahwa
filsafat hokum memiliki soal-soal pokok tersendiri yang kita tidak bisa kita
jumpai sama sekali pada filsafat (umum). Misalnya metode juridis dalam hukum
mempunyai sifat khusus yang tidak ada dalam filsafat umum. Filsafat hukum
membahas soal-soal bertalian khusus dengan hukum.
Ilmu hukum
dibedakan lagi dalam bentuk ilmu tentang norma. Ilmu tentang pengertian hukum.
Ilmu tentang kenyataan hukum. Ilmu lain tentang pengertian hukum antara lain
membahas tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat hukum, subjek hukum, objek
hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum dan hubungan hukum.
Sedangkan tentang
ilmu hukum selama ini kita ketahui terkait dengan dogmatic hukum. Dan Ilmu
tentang kenyataan hukum terkait dengan sosiologi hukum, antropologi hukum,
psykologi hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.
Sedangkan ilmu
tentang norma dan ilmu tentang pengertian hukum, cirri tentang kenyataan hukum
ilmu ini adalah teoritis empiris dengan menggunakan logika induktif.
Dari pembidangan
ini nampak bahwa filsafat hukum tidak dimasukkan sebagai cabang dari teori
hukum “ legal theory ” atau disiplin
ilmu hukum. Teori hukum dengan demikian tidak sama dengan filsafat hukum,
karena yang satu mencakup dengan yang lainya. Sajipto Rahardjo ( 1986)
mengatakan bahwa teori hukum boleh dikatakan adalah usaha melanjutkan
mempelajari hukum positif. Secara berurutan tersebut diatas kita
mengkontruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.
Teori memang
berbicara banyak hal termasuk kedalam lapangan politik hukum, filsafat hukum,
ilmu hukum, atau kombinasi dari ketiga ilmu tersebut.
Maka teori hukum
dapat saja pada suatu ketika membicarakan sesuatu yang secara universal, tapi
tidak menutup kemungkinan ia bicara mengenai hal-hal yang khas menurut tempat
dan waktu tertentu. Uraian ini kirannya sangat berguna bagi kita bahwa filsafat
hukum dan teori hukum diatas kiranya akan berguna dalam rangka apa dan dimana
filsafat hukum itu sendiri.
Nilai-nilai
tersebut sangat besar fungsinya bagi keteraturan hudup bersama dan merupakan
bagian yang paling normative disamping norma-norma kongkretisasinya dari
kebudayaan-kebudayaan manusia yang bersangkutan.
Dari pasangan
nilai-nilai tersebut kecendrungan bahwa manusia diatur oleh pasangan-pasangan
nilai-nilai kadang saling bersitegang.
a. Spiritualisme,
idealism, dan materialisme
b. Individualisme
dan kolektivisme
c. Pragmatisme
dan voluntarisme
d. Acsetisisme
dan hedunisme
e. Empirisme
dan intitusionisme
f. Rasionalisme
dan romamtisme
g. Apa
pengertian hokum berlaku umum.
h. Apa
dasar kekuatan mengikat suatu hokum.
i. Apa
yang dimaksud dengan hokum kodrat.
Sementara Lili Rasyidi (1990)
a. Hubungan
hokum dengan kekuasaan.
b. Hubungan
hokum dengan nilai social budaya.
c. Apa
sebab Negara berhak menghukum seseorang.
d. Apa
sebab orang mentati hokum.
e. Masalah
pertanggung jawaban
h. Masalah
peranan hokum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Nampaknya apa yang
diungkapkan Ali Rasydi persoalan dan pembahasan hokum makin bertambah
dibandingkan apa yang diunkapkan oleh Apeldoon. Hal ini diakibatkan karena makin
banyaknya ahli berpendapat seperti itu.
Pada jaman dulu
sebenarnya menurut para ahli, filsafat hokum hanya produk sampingan dalam
kajian penyelidikan para filosof. Namun saat sekarang sudah menjadi kajian
utama bahasan sendiri para pakar ilmu hokum. Dalam banyak tulisan filsafat
hokum sering di identikan dengan Juriprdence sudah digunakan Codex Iuris
Civilis di Di zaman Romawi. Istilah tersebut kemudian dipopulerkan oleh
penganut aliran Positivisme hokum. Kata jurisprudence harus dibedakan
yurisprudensi sebagaimana dikenal dalam
system hokum Indonesia dan Eropa Kontenental pada umumnya, dimana istilah
tersebut merujuk pada keputusan hakim dipengadilan diikuti oleh hakim-hakim
yang lain. Huijibers (1988) mengatakan di Inggris Jurisprudensi berarti ajaran
atau ilmu hokum. Agar tidak membingunkan istilah Jurisprudensi tidak diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi tetap dipertahankan pada bentuk aslinya,
seperti diterjemahkan oleh Huijibers diatas menjadi yurisprudensi, dan
dipertahan dalam bentuk aslinya. (Baca tulisan Abdul Ghafur Anshari, Gadjah
Mada University Press, 2006)
Problem diatas
telah memberi pemahaman kepada kita bahwa persepsi bisa melanda siapa saja,
kapan dan dimana saja. Persoalan persepsi terkait denga latar belakang
seseorang meilhat soal hokum. Ketika kita menetukan secara seragam “ Apakah
hokum itu”. Maka setiap mazahab dan setiap aliran akan memberikan argument dan
jika kita perdebatkan maka berhamburanlah perbedaan perbedaan yang makin jauh
menyimpan dengan apa yang kita inginkan. Atau keributan yang memalukan
bagi para pakar. Contoh Van Apeldorn,
seorang pakar hokum belanda 1960-1970 karyanya menjadi buku wajib bagi pergruan
tinggi. Seperti dikatakan Ahmad Ali, menyitir pendapat Soenaryati Hartono,
bahwa sejak tahun 1970 an buka Van
Apeldorn dinegara asalnya yakni Belanda sudah tidak menjadi literature utama.
Sebagaimana yang
selalu kita pahami, bahwa dimana ada ikatan disitu “seakan-akan” tidak akan ada
kebebasan. Dan perlu pemahaman bahwa hukum itu mengikat manusia atau
membebaskan manusia?.
Bagaimana agar
hukum itu mengikat supaya manusia itu bebas. Ada beberapa jenis kebebasan.
a. Kebebasab dari paksaan luar.
b. Kebebasan
dari paksaan batin.
c. Kebebasan
untuk memilih.
Kebebasan yang dikuasai
oleh motif-motif kesusilaan, atau oleh kekuasaan.
Orang Romawi jaman
klasik, mengatakan “ de were vrijhed naar
de wetten” bahwa kebebasan sebenarnya adalah mendengarkan undang-undang.
Pengertian mereka secara mendalam bahwa, jika kita taat kepada hukum mempunyai
arti yang dalam. Itu supaya kita dapat hidup bebas. Karena Romawi menganggap
bahwa undang-undang itu adalah memberi jaminan atas kebebasannya dan
keselamatan atasnya.
Dari
beberapa hambatan-hambatan tersebut diatas, akan dapat mengurangi efektifitas
pembudayaan hukum dalam masyarakat, apabila masyarakat majemuk yang mempunyai
keanekaragaman secara politik ekonomis, sosial maupun kulturil oleh karena itu
perlu adanya kesadaran masalah-masalah tersebut oleh karena itu tanpa adanya
kesadaran dalam penerapan hukum didalam masyarakat, mungkin pada suatu saat
hukum menjadi sarana yang sama sekali kehilangan kewibawaan maupun fungsinya.
Dari apa
yang telah dijelaskan secara garis besar tentang proses pemberdayaan hukum
dalam masyarakat secara teoritis maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Berhasil tidaknya pembudayaan
hukum, senantiasa tergantung pada struktur masyarakat secara keseluruhan, dan
terkait dengan nilai-nilai hukum yang dianutnya.
2. Terdapat suatu asumsi bahwa
tiap warga Negara masyarakat dianggap mengetahui hukum. Masalahnya apakah benar
demikian?
1. Pemberdayaan hukum seyogyanya
diarahkan pada kesusilaan antara hukum dengan nilai-nilai yang dianut
masyarakat, sebab ada nilai-nilai yang tegas mengandung budaya hukum.
2. Selama para warga masyarakat
masih berpaling pada pemimpin-pemimpinnya maka berhasil tidaknya pembudayaan
hukum senatiasa dikaitkan dengan pembenaran teladan oleh para
pemimpin-pemimpinya.
Abdul
Ghafur, 2006. Judul Buku: Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Ahmad
Ali Achmad Ali (2012): menjelajahi
Kajian Empirisme terhadap Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Anton
F Susanto, 2007. Judul : Hukum Consilrnce Menuju Pradigma Hukum
Konstruktif dan Transgresif. Penerbit, Refika Aditama.
Dika
Afrizal, 2011, Makalah Budaya Hukum Dalam Masyarakat Indonesia.
H.
Riduan Syahrani, 2004. Judul: Rangkaian Intisari Ilmu Hukum, Penerbit PT
Citra Aditya Bakti.
Kamri
Ahmad, 2009, diktat Filsafat Hukum S2 Pascasarjana Universitas Muslim
Indonesia. Makassar.
Sudikno
Mertokusumo, Judul buku: Penemuan Hukum,
Penerbit, Liberty Yogyakarta 1966.