Rabu, 27 Februari 2013

Kampanye Budaya “Bugis Makassar” Dari Spiritual ke Culture








 “Kelembutan sang fajar membelai sukma yang membeku. Gemulai riak gelombang setubuhi makna ilahi. Tunrung Bali’sumange membelah titik nutfah. Dalam sulbi sang fakir.”


(Minggu pagi 24 Pebruari 2013)



Bekerja Dengan Pengalaman


Seperti tak punya aturan khusus tentang bagaimana cara mengerjakannya. Masing-masing dari kami punya sudut pandang terhadap tujuan kampanye ini. Namun ada tiga titik sentral yang menurut saya sangat subtansi tak terelakkan dari beberapa pertemuan sebelumnya.

Sebab menurut A. Apti Aspriandi,  pertama adalah perjalanan spiritual, dan yang kedua adalah kultur. Lalu kemudian dalam penamaan suku etnik Bugis Makassar di Jazirah Celebes. 

Aksi seremonial Kampanye Kebudayaan Bugis Makassar berlangsung di Anjungan Pantai Losari Minggu pagi 24 Pebruari 2013. Kami  sebar brosur. menawarkan produk hiburan aksi pertunjukan, gendang acara pengantin,  menerima pesanan pembuatan gendang oleh Hasan Daeng Ramma. Jual sonkok pamiring atau songkok guru (songkok yang terbuat dari serat pelepah lontar). Lalu maggiri, dan aksi tabuhan gendang bali sumange, pencak silat dan pepe-pepe.  

Kontak Person A. Asdar : (087840851989)-(082344481982)


Kami berharap keunikan ini berbuah sesuatu menjadi mahal segi nilai. Yang pasaran seharusnya menjadi murah. Sisi ekonomis ini adalah klasik karena ia adalah menggali sisa miniature peradaban jazirah ini, bukan pula tujuan memurnikan. Akan tetapi memungut satu-persatu serpihan-serpihan itu. Yang langka menjadi mahal karena butuh penghargaan khusus, dan pemeliharaan.



Dari Mantra Bumi, Spiritual Ke Culture


Hasan Daeng Ramma dengan Andi Apti Aspriandi menjadi kolaborasi yang tepat atas sebuah ekplorasi penjejakan nilai itu.

“Kelembutan sang fajar membelai sukma yang membeku. Gemulai riak gelombang setubuhi makna ilahi. Tunrung Bali’sumange membelah titik nutfah. Dalam sulbi sang fakir.”



Untuk menyatakan baku “tau dan baku dapa”. Tak ada  ruang dan waktu kita bicarakan disini.  Sehingga berpuncak pada yang mana akar yang mana batang, yang mana dahan yang mana ranting.

Tikamkan diri dalam keakuan satu dalam kea AKU an” ini pernyataan ringkasnya dalam puisinya terakhir.

Dan dibenak bahwa hanya ada pohon tumbuh di belakang rumah kita ditanam oleh para pendahulu.

Membicarakan kebudayaan sebenarnya cakupanya sangat luas namun membicarakan Bugis Makassar adalah ruang lingkup prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang melekat dimasa lalu dan sebagian masih terasa.






Kendala-kendala besar mengajak orang berkostum tradisinal.


Pertanyaan saya saat itu bersama Rombo, bahwa apakah semua orang dibolehkan untuk memakai kostum adat seperti itu.




Hemat kami yang mana kita pilih, bergeser atau hilang sama sekali. Ataukah perlu kita membicarakanya lagi. Ini sudah pasti kita akan baku hadap-hadapan dengan para orang tua yang sangat mensakralkan kostum tersebut dari dulu.

Karena ada aturan bahwa ini yang boleh dipakai dan ini yang tak boleh dipakai berdasarkan kasta masing-masing orang di masa lalu. Seperti Songko pamiring, atau Songkok Guru (songkok adat terbuat dari anyaman serat pelepah pohon lontar), misalkan. Hanya seorang dari keturunan Arung atau Karaeng yang pantas memakainya.

Dari segi motif dan garis-garis pada sisi teratas songkok tersebut menunjukan derajat kalangan apa dan siapa yang bisa memakainya.

Saya belum mendapat literature yang memadai soal simbol ini. Akan tetapi saya pribadi membutuhkan transpormasi nilai kearifannya untuk melakukan hal yang lain kemudian hari. Karena status kemuliaan pada diri Bugis Makassar ada pada perilaku dan sikap yang tegas pada nilai siri na pacce. Setelah ia menjadi hukum kata-kata.

Begitupun halnya dari Passapu yang dipakai oleh orang jaman dulu kala, dari segala jenis warna memberi penanda pada sebuah posisi tertentu pada seseorang.

Akan tetapi batas-batas senioritas dalam sebuah tradisi masalalu masih melekat. Hal ini dituturkan oleh orang tua kita dari masa-kemasa. Namun sangat disayangkan kalau kelak tuturan kita,  tak lagi kita ketemui  di kemudian hari gara-gara banyak pertimbangan.

Saya juga berharap yang berkompeten dalam hal ini, memberikan jawaban yang lugas terbuka dan bijaksana.

Akhirnya kita membayangkan lagi sebuah negara, seperti telah dilakukan negara Jepang,  yang pada dasarnya tiap tahunnya sebuah festival tradisional Jepang, sehingga semua anak-anak muda mengunakan kostum ala Jepang mulai dari kimono dan seterusnya.


Perlukah  Jalan Pintas


Sisi lain ada benarnya, presiden pertama kita Soekarno pernah berkata bahwa saya memilih songkok nasional sebagai simbol bahwa Soekrano tak dimiliki oleh etnik tertentu, karena ia hanya dimiliki oleh Indonesia dalam bingkai nasionalis bukan milik tanah kelahiranya, Jawa dan Bali.

Masa yang tepat. Ketika pula-pulau ini membutuhkan pembebasan dari pengaruh koloni belanda. Juga sekaligus menyatukan persepsi bahwa karena ternyata penjajah juga sudah mencaplok kerajaan-kerajaan dan juga telah melakukan sekutu-sekutu dengan yang lain, mengakibatkan beberapa kerajaan jadi alat untuk memperkuat kedudukan mereka.

Nasionalisme kita akhirnya digairahkan pada sebuah gagasan baru. Akan tetapi sisi lain lalu kita kemudian menghilang dari perjalanan yang sesungguhnya dalam sejarah itu.  

Faktanya juga bahwa kita banyak mengeyam begitu banyak ilmu pengetahuan namun kita lupa kearipan local kita sebagai gaya potensi dan kekayaan kita positif untuk dikelola. 

Sebenarnya juga kita tak perlu sungkam, sebab beberapa negara juga mengalami kemajuan tanpa meninggalkan gaya khas kebudayaan lokalnya.

Saya pribadi penulis sendiri mestinya dimana saya pernah lahir dengan segala pohon-pohon tumbuhan yang tumbuh disekelilinya. Seperti halnya ketika aku tak mau kehilangan rumah saya, halaman rumah saya berlarian, juga saling tabrakan antara nilai yang baru tiba itu, dengan apa yang saya anut.



Antara Kostum Adat dan Siri’ na Pacce.







Akan tetapi bagaimana agar nilai-nilai masa lalu itu bekerja dengan diri kita masing-masing. Kita butuhkan spiritnya.

Karena saya peribadi merasa yakin bahwa sisa masa lalu itu kita pernah berdaya. Bukankah siri’ na pace adalah sebuah prinsip yang luar biasa bagi masyarakat jazirah ini. Siri na pacce’ sebenarnya tak ada hubungannya dengan kostum adat. Akan tetapi dengan penanda kostum adat, orang akan dikenal bahwa ia orang Sulawesi- Selatan yang mengenal prinsip Siri’ Na Pacce.

Budaya khas masalalu yang kita maksudkan boleh dilirik dengan beragam sudut pandang. Secara simbolik, atau nilai yang melekat padanya boleh, secara ekonomis juga boleh. Sikap-sikap dan prinsip prinsip juga boleh setelah banyak belajar dari pengalaman-pengalaman orang tua kita tentang istilah “Pemali”, atau “Paseng-paseng” lainya.



Aspek Finansial


Andi Asdar yang berasal dari pengalaman manajerial event organizer sekaligus sebenarnya merasa terinspirasi untuk mengelolanya secara professional, dan mempromosikanya. Makanya dengan adanya peristiwa kampanye budaya yang ada di Anjungan Pantai Losari sabtu 24/ Pebruari 2013 lalu adalah langkah pertama dengan upaya promosi sekaligus sebar brosur. Dan menurutnya dengan hal seperti ini adalah sesuatu hal yang baru. “ jika itu dilakukan dengan intens orang-orang akan menghubungi kita dikemudian hari”, ungkap Andi Asdar. Ini sisi finansial hiburan seremonial seni pertunjukannya.

Seni hiburanya masih jarang orang lirik, padahal ini sangat unik. Digunakan rata-rata berkaitan dengan bagian sebuah peristiwa adat tertentu. Seperti acara pelantikan raja dimasa lalu. Hingga sekarang tersisa dilakukan pada acara ritual perkawinan. Dan yang lebih formal adalah menyambut tamu-tamu yang datang ke daerah Sulawesi-selatan.  Atau mendapat tugas dari Dinas Pariwisata untuk meloloskan agenda program kerjanya promosi kesenian daerah.

Seperti Ibu Rukmana dari Maros menyaksikan hal ini berkata ia memang berasal dari keluarga daerah ini. Setelah ia berada di Bandung bersama suaminya begitu sangat merindukan khazanah Bugis Makassar.


.

Minggu, 24 Februari 2013

Budaya Hukum dalam Kajian Filsafat Hukum


Makalah ini adalah presentase kelompok pada mata kuliah filsafat hukum program pasca sarjana Universitas Muslim Indonesia Makassar Sabtu/23/2/2013. Makalah ini adalah kutipan dari penulis Dika Afrizal 2012.  
Presentase Makalah: Muh. Subhan, Januddin, Fitriani Abdillah, A. Nur Fadhillah, Andri Surahman,  Aziz. AT, Hasmawati.
1   
   Latar Belakang Masalah

Pesatnya informasi dan teknologi pada abad ke 20 ini dan pada umumnya sulit untuk diikuti oleh sektor lainya menyebabkan orang berpikir ulang tentang hukum.  Dan mulai melihat interaksi dan memutuskan antara sector hukum dimana hukum tersebut diterapkan.

Ketika mendengar beberapa pemberitaan lewat media. Pandangan masyarakat awam mengatakan bahwa hukum bisa diperjual belikan. Kalau kita memiliki kekuasaan hukum bisa sesuaikan dengan kehendak kekuasaan yang kita miliki. Benarkah demikian? Lantas apa itu hukum, dan apa itu  budaya hukum dalam masyarakat Indonesia.

Masalah hukum dalam masyarakat bukan saja menjadi persoalan bagi kalangan yang membedakan atau mempertentangkan hukum dan masyarakat, akan tetapi juga kalangan yang membedakan kaidah dengan fakta. Ada juga yang mengatakan bahwa budaya hukum identik dengan ketaatan hukum.
Apa yang dimaksud “budaya hukum” adalah keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana system hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Sehingga sepenuhnya hukum itu bisa ditaati dan daya kerja hukum sesuai dengan keinginan masyarakat pada umumnya.

Budaya hukum bukanlah apa yang secara kasar disebut opini publik para antropolog, budaya itu tidak sekedar berarti himpunan fragmen-fragmen tingkah laku (pemikiran) yang saling terlepas, istilah budaya diartikan sebagai keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum.

(Soerjono Soekanto, hukum dan masyarakat universitas Airlangga 1977 : 2) Sehubungan dengan catatan tersebut diatas maka untuk pembahasan pembudayaan hukum hanya akan dibatasi pada bagaimana membudayakan hukum yang dibuat dan diterapkan oleh Pemerintah, inipun sifatnya teoritis.

Untuk memperoleh dasar pembicaraan maka perlu ditegaskan terlebih dahulu apa yang dinamakan hukum diperbagai bidang kehidupan masyarakat yang telah melembaga. Mengutip pendapat Van Apeldoorn pernah menyatakan bahwa hingga kini para yuris masih mencari definisi hukum tanpa hasil yang memuaskan, akan tetapi supaya pembicaraan tidak simpang siur, perlu adanya pegangan sementara oleh karena itu, maka dibawah ini akan diberikan beberapa arti hukum sebagaimana diberikan oleh masyarakat.



                                                                  Rumusan Masalah

1.    Sejauh mana budaya hukum bisa dikaji dalam filsafat hukum
2.    Sejuah mana masyarakat dianggap tahu tentang hukum, memungkinkan efektifitas hukum berlaku bagi masyarakat.


                                                      Karakteristik kajian filosofis hukum.

Kajian filosofis hukum atau kajian filsafat hukum membahas tentang pandangan hukum sebagai perangkat nilai ideal, dalam rangka pembentukan, dan pelaksanaan kaidah hukum. Kajian filosofis adalah kajian  sifatnya ideal. Kajian ini diperankan oleh filsafat hukum. Atau “law in ideas”

Jika dalam kasus pencurian misalnya dalam kajian filosofis objek bahasanya bukan lagi unsur dan beratnya sangksi yang diatur dalam KUHP Pasal 362, tapi aspek edeal dan moral daripada pencurian itu. Pertama mengapa pencurian dikategorikan sebagai kejahatan, dan bukan pelanggaran. Apakah berat sangksi yang diancamkan oleh Undang-Undang terhadap pelaku pencurian sudah adil atau tidak adil. Dan apa dasar moral pembenaran dikenakan sangksi pidana bagi pelaku pencurian.

(kutipan dalam buku Ahmad Ali  (2012): menjelajahi Kajian Empirisme terhadap Hukum) Sisi  lain selama ini kita ketahui bahwa hukum ada norma atau kaidah-kaidah tertulis dan tak tertulis. Dalam kajian normativ hukum.  Misalnya dalam KUH Pidana dalam pasal 362 yaitu.

a.    Barang siapa,
b.    Yang mengambil barang orang lain,
c.    Dengan maksud memiliki,
d.    Dengan jalan melawan hukum.

Kalau perbuatan dilakukan terdakwa ditentukan oleh Pasal 362 KUH Pidana, berarti tedakwa telah terbukti bersalah melakukan pencurian.
Menurut Soharjo Ss (1994) filsafat mencakup tiga bidang permasalahan. (Kutipan dalam diktat Filsafat Hukum Kamri Ahmad SH, M.Hum. 2009.

a.    Problem kenyataan. Metafisika manusia dan alam sekitarnya.
b.    Problem pengetahuan. Teori kebenaran, teori pengetahuan, epistemologi,dan logika.
c.    Problem nilai. Dan teori nilai meliputi: Etika, Estetika, dan keagamaan.

Hukum sebagai seperangkat kaidah yang  mengatur manusia baik secara tertulis maupun yang tak tertulis. Dan filsafat hukum tak akan berhenti pada satu titik saja apabila untuk menemukan kebenaran hukum.
Sangat tidak mudah untuk menemukan kebenaran hukum karena objeknya yang sangat dinamis. Itulah sebanya ada yang dikatakan sebagai ruang dan waktu. Boleh jadi  pada suatu ruang dan waktu tertentu, tidak berkesesuaian dengan ruang waktu yang lain. Misalkan hukum pada masa colonial tidak sama hukum masa sekarang. Begitupun dengan tempat, misalnya lingkungan kuasa berlakunya hukum nasional kita, tidak sama dengan lingkungan kuasa berlakunya nasional negara lain. Seperti negara lain seperti Singapura Malaysia atau Amerika.

Menguji Teori Talcot Parson dalam teori sibenetika, bahwa semua persoalan saling terkait satu sama lainya.

Kemudian hukum ibarat raksasa yang siap baku hadap-hadapan dengan ilmu lainya seperti ilmu politik, ilmu social dan ekonomi. Hukum harus dikedepankan. Ada juga yang berkata politik harus jadi panglima, lalu ekonomi harus didepan sebab segala sesuatunya adalah terkait dengan soal kesejahateraan. Contoh kasus seorang nenek tua tak akan menimpa kasus pencurian biji coklat, jika nenek tersebut memiliki banyak uang ia tak mungkin ia mencuri biji kakao. Begitupun sebaliknya ada juga orang kaya atau pejabat besar memiliki harta banyak tapi ia melakukan korupsi. Jadi hal tersebut bisa jadi adalah tersangkut paut dengan soal perilaku hukum dan taat hukum. Masuk dalam ruang lingkup kajian moral.

                                                               
                                                                    Problem Persepsi

“Sekumpulan aturan atau seperangkat norma yang dibentuk oleh lembaga formal, dengan tujuan untuk mengatur masyarakat. Yang apabila dilanggar akan menimbulkan sangksi” demikianlah rata-rata pada umumnya yang kita dapati pengertian hukum. Dan sisi lain ada juga pakar ahli juga yang mengatakan bahwa hokum sangat sulit untuk didepenisikan karena memiliki banyak segi.

Dan jika apabila sebuah norma dan aturan tersebut terkontak dengan panca idra kita sedemikian rupa, sehingga menciptakan sesuatu dalam otak menciptakan keadaan mental dalam diri kita. Yang mempersepsikan aturan tersebut. Apakah persepsi kita selaras dengan aturan apa yang dimaksud tersebut diatas atau tidak. Apakah pikiran begitu saja menerima hal-hal tersebut diatas. Apakah hasil persepsi tentang norma akan berkesesuian dengan realitas, ataukah apakah pikiran kita menolak realitas tersebut atau tercerminkah dalam realitas dalam gagasan-gagasan tersebut.

 “Apakah ini, apakah itu? Inilah selalu pertanyaan kita tentang sesuatu”.
Terkadang indra kita sangat menipu diri kita sendiri. Contoh kecil saja saya melihat seseorang guru memukul muridnya disekolah. Karena ada sebuah aturan yang mengatakan bahwa guru adalah pendidik dan Pembina. Namun dalam setiap pemukulan tersebut apakah ada jaminan bahwa sang guru tersebut tengah mengajari anak muridnya. Atau seorang mencuri X adalah seorang perempuan perempuan. Ternyata belakangan ternyata adalah seorang waria. Panca  indra kita tak mampu menjangkau sesuatu dibalik semua ini. Misalkan saja kita melihat hakim, polisi, jaksa atau pengacara bersifat kepapakan, berwibawa dan bertindak adil. Persis seorang politikus berbicara  atas nama rakyat tapi melakukan pemerasan. Secara garis besarnya problem tersebut tak mudah dipecahkan hanya mengandalkan panca indra kita dan pengamatan kita. Atau seorang pencuri bisa saja bersembunyi dbalik sebuah aturan.

Problem diatas telah memberi pemahaman kepada kita bahwa persepsi bisa melanda siapa saja, kapan dan dimana saja. Persoalan persepsi terkait denga latar belakang seseorang meilhat soal hokum. Ketika kita menetukan secara seragam “ Apakah hokum itu”. Maka setiap mazahab dan setiap aliran akan memberikan argument dan jika kita perdebatkan maka berhamburanlah perbedaan perbedaan yang makin jauh menyimpan dengan apa yang kita inginkan. Atau keributan yang memalukan bagi  para pakar. Contoh Van Apeldorn, seorang pakar hokum belanda 1960-1970 karyanya menjadi buku wajib bagi pergruan tinggi. Seperti dikatakan Ahmad Ali, menyitir pendapat Soenaryati Hartono, bahwa sejak tahun  1970 an buka Van Apeldorn dinegara asalnya yakni Belanda sudah tidak menjadi literature utama.

Menurut Van Apeldorn, dalam masyarakat ditemukan satu kelompok orang, mereka disebut sebagai. Dan mereka percaya bahwa hokum hanyalah Undang-undang saja. Atau istilahnya “ Ontwekkelde dan the man on the steet.Namun hokum juga terwujud dalam diri polisi, hakim, jaksa, pengacara, dan lain-lain. Menyangkut soal Apeldorn terkait dengan apa yang kita singgung yaitu soal persepsi.
Asumsi bahwa filsafat hokum memiliki soal-soal pokok tersendiri yang kita tidak bisa kita jumpai sama sekali pada filsafat (umum). Misalnya metode juridis dalam hukum mempunyai sifat khusus yang tidak ada dalam filsafat umum. Filsafat hukum membahas soal-soal bertalian khusus dengan hukum.
                                                                                                            

                                                            Asumsi Pembelajaran 

Ilmu hukum dibedakan lagi dalam bentuk ilmu tentang norma. Ilmu tentang pengertian hukum. Ilmu tentang kenyataan hukum. Ilmu lain tentang pengertian hukum antara lain membahas tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat hukum, subjek hukum, objek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum dan hubungan hukum.          

Sedangkan tentang ilmu hukum selama ini kita ketahui terkait dengan dogmatic hukum. Dan Ilmu tentang kenyataan hukum terkait dengan sosiologi hukum, antropologi hukum, psykologi hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.

Sedangkan ilmu tentang norma dan ilmu tentang pengertian hukum, cirri tentang kenyataan hukum ilmu ini adalah teoritis empiris dengan menggunakan logika induktif.
Dari pembidangan ini nampak bahwa filsafat hukum tidak dimasukkan sebagai cabang dari teori hukum “ legal theory ” atau disiplin ilmu hukum. Teori hukum dengan demikian tidak sama dengan filsafat hukum, karena yang satu mencakup dengan yang lainya. Sajipto Rahardjo ( 1986) mengatakan bahwa teori hukum boleh dikatakan adalah usaha melanjutkan mempelajari hukum positif. Secara berurutan tersebut diatas kita mengkontruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.

Teori memang berbicara banyak hal termasuk kedalam lapangan politik hukum, filsafat hukum, ilmu hukum, atau kombinasi dari ketiga ilmu tersebut.

Maka teori hukum dapat saja pada suatu ketika membicarakan sesuatu yang secara universal, tapi tidak menutup kemungkinan ia bicara mengenai hal-hal yang khas menurut tempat dan waktu tertentu. Uraian ini kirannya sangat berguna bagi kita bahwa filsafat hukum dan teori hukum diatas kiranya akan berguna dalam rangka apa dan dimana filsafat hukum itu sendiri.

Nilai-nilai tersebut sangat besar fungsinya bagi keteraturan hudup bersama dan merupakan bagian yang paling normative disamping norma-norma kongkretisasinya dari kebudayaan-kebudayaan manusia yang bersangkutan.

Dari pasangan nilai-nilai tersebut kecendrungan bahwa manusia diatur oleh pasangan-pasangan nilai-nilai kadang saling bersitegang.

a.    Spiritualisme, idealism, dan materialisme
b.    Individualisme dan kolektivisme
c.    Pragmatisme dan voluntarisme
d.    Acsetisisme dan hedunisme
e.    Empirisme dan intitusionisme
f.     Rasionalisme dan romamtisme
g.    Apa pengertian hokum berlaku umum.
h.    Apa dasar kekuatan mengikat suatu hokum.
i.      Apa yang dimaksud dengan hokum kodrat.

Sementara Lili Rasyidi (1990)

a.    Hubungan hokum dengan kekuasaan.
b.    Hubungan hokum dengan nilai social budaya.
c.    Apa sebab Negara berhak menghukum seseorang.
d.    Apa sebab orang mentati hokum.
e.    Masalah pertanggung jawaban
f.     Masalah hak milik.
g.    Masalah kontrak
h.    Masalah peranan hokum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.

Nampaknya apa yang diungkapkan Ali Rasydi persoalan dan pembahasan hokum makin bertambah dibandingkan apa yang diunkapkan oleh Apeldoon. Hal ini diakibatkan karena makin banyaknya ahli berpendapat seperti itu.

Pada jaman dulu sebenarnya menurut para ahli, filsafat hokum hanya produk sampingan dalam kajian penyelidikan para filosof. Namun saat sekarang sudah menjadi kajian utama bahasan sendiri para pakar ilmu hokum. Dalam banyak tulisan filsafat hokum sering di identikan dengan Juriprdence sudah digunakan Codex Iuris Civilis di Di zaman Romawi. Istilah tersebut kemudian dipopulerkan oleh penganut aliran Positivisme hokum. Kata jurisprudence harus dibedakan yurisprudensi  sebagaimana dikenal dalam system hokum Indonesia dan Eropa Kontenental pada umumnya, dimana istilah tersebut merujuk pada keputusan hakim dipengadilan diikuti oleh hakim-hakim yang lain. Huijibers (1988) mengatakan di Inggris Jurisprudensi berarti ajaran atau ilmu hokum. Agar tidak membingunkan istilah Jurisprudensi tidak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi tetap dipertahankan pada bentuk aslinya, seperti diterjemahkan oleh Huijibers diatas menjadi yurisprudensi, dan dipertahan dalam bentuk aslinya. (Baca tulisan Abdul Ghafur Anshari, Gadjah Mada University Press, 2006)

Problem diatas telah memberi pemahaman kepada kita bahwa persepsi bisa melanda siapa saja, kapan dan dimana saja. Persoalan persepsi terkait denga latar belakang seseorang meilhat soal hokum. Ketika kita menetukan secara seragam “ Apakah hokum itu”. Maka setiap mazahab dan setiap aliran akan memberikan argument dan jika kita perdebatkan maka berhamburanlah perbedaan perbedaan yang makin jauh menyimpan dengan apa yang kita inginkan. Atau keributan yang memalukan bagi  para pakar. Contoh Van Apeldorn, seorang pakar hokum belanda 1960-1970 karyanya menjadi buku wajib bagi pergruan tinggi. Seperti dikatakan Ahmad Ali, menyitir pendapat Soenaryati Hartono, bahwa sejak tahun  1970 an buka Van Apeldorn dinegara asalnya yakni Belanda sudah tidak menjadi literature utama.
     
                                                          Hukum dan kebebasan

Sebagaimana yang selalu kita pahami, bahwa dimana ada ikatan disitu “seakan-akan” tidak akan ada kebebasan. Dan perlu pemahaman bahwa hukum itu mengikat manusia atau membebaskan manusia?.
Bagaimana agar hukum itu mengikat supaya manusia itu bebas. Ada beberapa jenis kebebasan.

a.    Kebebasab  dari paksaan luar.
b.    Kebebasan dari paksaan batin.
c.    Kebebasan untuk memilih.

Kebebasan yang dikuasai oleh motif-motif kesusilaan, atau oleh kekuasaan.

Orang Romawi jaman klasik, mengatakan “ de were vrijhed naar de wetten” bahwa kebebasan sebenarnya adalah mendengarkan undang-undang. Pengertian mereka secara mendalam bahwa, jika kita taat kepada hukum mempunyai arti yang dalam. Itu supaya kita dapat hidup bebas. Karena Romawi menganggap bahwa undang-undang itu adalah memberi jaminan atas kebebasannya dan keselamatan atasnya.

Dari beberapa hambatan-hambatan tersebut diatas, akan dapat mengurangi efektifitas pembudayaan hukum dalam masyarakat, apabila masyarakat majemuk yang mempunyai keanekaragaman secara politik ekonomis, sosial maupun kulturil oleh karena itu perlu adanya kesadaran masalah-masalah tersebut oleh karena itu tanpa adanya kesadaran dalam penerapan hukum didalam masyarakat, mungkin pada suatu saat hukum menjadi sarana yang sama sekali kehilangan kewibawaan maupun fungsinya.




                                                                           Kesimpulan

Dari apa yang telah dijelaskan secara garis besar tentang proses pemberdayaan hukum dalam masyarakat secara teoritis maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.    Berhasil tidaknya pembudayaan hukum, senantiasa tergantung pada struktur masyarakat secara keseluruhan, dan terkait dengan nilai-nilai hukum yang dianutnya.
2.    Terdapat suatu asumsi bahwa tiap warga Negara masyarakat dianggap mengetahui hukum. Masalahnya apakah benar demikian?

                                                                            Saran-saran

1.    Pemberdayaan hukum seyogyanya diarahkan pada kesusilaan antara hukum dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat, sebab ada nilai-nilai yang tegas mengandung budaya hukum.
2.    Selama para warga masyarakat masih berpaling pada pemimpin-pemimpinnya maka berhasil tidaknya pembudayaan hukum senatiasa dikaitkan dengan pembenaran teladan oleh para pemimpin-pemimpinya.  


                                                                        Daftar Pustaka
Abdul Ghafur, 2006. Judul Buku: Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan.    Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Ahmad Ali Achmad Ali  (2012): menjelajahi Kajian Empirisme terhadap Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Anton F Susanto,  2007. Judul : Hukum Consilrnce Menuju Pradigma Hukum Konstruktif dan Transgresif.  Penerbit, Refika Aditama.
Dika Afrizal, 2011, Makalah Budaya Hukum Dalam Masyarakat Indonesia.
H. Riduan Syahrani, 2004. Judul: Rangkaian Intisari Ilmu Hukum,  Penerbit PT Citra Aditya Bakti.
Kamri Ahmad, 2009, diktat Filsafat Hukum S2 Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia. Makassar.
Sudikno Mertokusumo, Judul buku:  Penemuan Hukum, Penerbit, Liberty Yogyakarta 1966.


Rabu, 06 Februari 2013

Anekdot, Seorang Filsuf.


Seorang filsuf menaiki sebuah kapal. Ia hendak berlayar.  Sesekali ia mondar mandir dalam kapal beserta bukunya sambil menyapa para pelayan kapal. Kemudian kembali lagi masuk dalam bilik kamar.
Suatu waktu dia memanggil pelayan. Dan pelayan kapalpun datang.

“ Ada yang bisa saya bantu tuan?”, tanya pelayan dengan sopan.
“O, tidak! Saya cuma mau bertanya. Apakah kamu pernah belajar tentang psykologi?”
Sang pelayan menjawab campur bingung.

 “Tak pernah pak!”.

Wah.. sayang sekali anda menghabiskan waktu anda, dan tak meluangkan waktu tuk mempelajari ilmu tersebut. Padahal dengan ilmu psykologi, kamu bisa mengetahui banyak hal termasuk bagaimana caranya kamu bisa mengetahui keinginan semua penumpang yang ada di kapal ini.

“Cobalah belajar”, ajar filsuf.

Dan pelayan jadi bingung, lalu pergi.

Filsuf kemudian naik diatas gladak kapal, dan ia melihat dari jauh seorang tukang sapu kapal sibuk dengan pekerjaanya.

Sang Filsuf bertanya lagi kepada tukang sapu dengan berteriak.
Hei, apakah kamu pernah belajar Antropologi?.
Tukang sapu diam dan balik menjawab,

“Hoho, tidak pernah tuan, saya hanya tukan sapu kapal ini”.

Oh, kalau begitu sayang sekali.  Dan kamu menghabiskan waktumu hanya dengan menyapu dalam kapal. Padahal dengan mempelajari antropolgi kamu bisa banyak tahu dan bisa mengetahui semua bangsa-bangsa yang ada didunia ini. Artinya dimana saja kapal ini singgah, kamu bisa bergaul dengan penduduknya dengan mudah.

Tukang sapu kapal hanya menggaruk kepalanya.
Berikutnya sang filsuf bertemu lagi salah satu anak buah kapal lagi dan iapun bertanya.

“ Apakah anda pernah mendalami matematika dan astronomi?”
Sang anak buah kapal hanya menggeleng.
“Seharusnya kau pelajari itu, biar kamu tak tersesat. Dan dengan ilmu itu apa yang kamu lakukan dalam dunia ini selalu tepat dan akurat,” kata sang Filsuf.

Sang filsuf pun kembali kekamarnya. Ia kemudian kembali menikmati bacaanya.
Namun tiba-tiba dari luar kamar penumpang terdengar sirene kapal berbunyi dan kapal tiba-tiba bergetar. Dan ternyata kapal mengalami masalah, dan menabrak karang. Semua penumpang jadi panik. Dan terdengar suara peringatan agar masing-masing penumpang memasang pelampung mereka  tuk selamatkan diri.
Tak terkecuali sang filsuf juga dengan sigap memasang pelampung mereka, dan bergegas menuju tepi kapal dan menunggu perahu darurat diturunkan satu persatu. Sang filsuf menunggu giliran.

Tiba-tiba dari jauh, seorang anak buah kapal berteriak kepala filsuf .

“Tuan..., apakah tuan tahu berenang?”
Dan tiba-tiba sang filsuf menjawab dengan cepat.
“ Saya tidak tahu berenang” jelas filsuf.

Sang anak buah kapal menjawab.

“ wah. Sayang sekali tuan tak pernah meluangkan waktu untuk belajar berenang”.
Kami harus menolong satu persatu penumpang tuan. 

Berebut “kursi kosong”


(Saya juga telah membaca salah satu ulasan lain dalam media cetak TEMPO Makassar.)

"Kebetulan isu ini masih tepat dan hangat. Pesta demokrasi di Sulawesi Selatan akhir-akhir ini kini usai, yakni memilih  calon gubernur (Pilgub) untuk periode 2013-2018.  Riuh tawa dan canda juga tangis, kemudian menyusul merasa panik dan menegangkan."

(dok. Kumpulan Foto Pertunjukan Festa Halalaman Rumah)



Dan begitu pentingnya pilihan-pilihan yang tepat. Walau kita belum tahu pasti berapa jumlah orang tak terlibat dalam memlih, kecuali sekedar senang membicarakanya gara-gara media massa selalu mengolahnya.
Harapan terbesar pesta demokrasi kali ini adalah benar-benar bersih, seperti harapan ke ‘ Indonesiaan’  kita. Juga harapan besar proses demokratisasi berjalan apa adanya dan para kandidat kandidat menjaga martabat  dan menjaga kepercayaan pemilihnya. Bukan pemanfaatan suara-suara rakyat yang akan memilihnya jauh dari kesan setengah hati.

Gambaran pertunjukan UKM seni UMI kali ini masih tergolong jenis pertunjukan tema tumbuh semangat pesimis, juga semangat oportunis tanda kutip masih  setengah hati untuk mempercayai perilaku politisi dan birokrat pemimpin negri ini. Misalnya saja judul teater “berebut kursi kosong”.  Pertunjukan rangkaian kalimat-kalimat “ interupsi” dan sikap drama oportunis. Dan ada juga beberapa karya lagu berdendang miris, seperti impian koruptor.  




Beberapa orang pemain berlarian kesana kemari. Sebuah pesta demokrasi bisa saja meraih simpatik, namun bisa juga meraih kemalasan tuk melibatkan diri pada rana demokrasi yang konvensional. Kecuali rana aksi lain, seperti salah satunya pertunjukan teater. Hal inilah dilakonkan oleh UKM seni UMI Berebut Bangku Kosong. Gedung Al-Jibra Universitas Muslim Indonesia Makassar. Tema kegiatan Pesta Halaman rumah.


Beberapa orang menertawakan beberapa susun kursi menjulang keatas. Setelah itu ia kemudian menangis, lalu mereka kembali tertawa terpingkal-pingkal, dan tiba-tiba ia merasa ketakutan melihat susunan kursi itu dan berlarian panik keluar.

Para pemain berkostum rapi lengkap dengan dasi dan sepatu kemudian meloncati kursi satu persatu. Adegan per-adegan tak menggunakan dialog bukan seperti bahasa percakapan sehari-hari antara aktor yang satu dengan lainnya.  Kecuali ungkapan penggalan-penggalan narasi yang agresif.
Kursi  atau bangku adalah simbol lazim selalu rebutan, dan sangat sulit untuk dilepas begitu saja yang sudah menguasainya. Namun juga simbol ketegangan ketika harus diperebutkan, juga symbol malapetaka jika diperolehnya karena mesti selalu kita berusaha untuk mengamankan diri. Aktor kemudian bercerita dengan bahasa non verbal hubungan kursi dengan kekuasaan lalu ia mencengkram kursi dengan erat-erat dan dia memasang dikepalanya seperti topeng.

Adegan lain berikutnya buah ilustrasi kursi sebagai jembatan penyeberangan, sementara diatasnya seseorang menyeberang dengan langkah pelan, menunggu posisi kursi urutan berikutnya. Pembawa kursi empat orang dengan kostum masyarakat biasa berjalan sambil  jongkok dan sembunyi dibelakang kursi, sepertinya ia menggambarkan masyarakat pengusung deretan-deretan penyusun kursi dilalui pejabat teras. Termasuk salah satunya ada yang berkain sorban, seperti layaknya seorang agamawan, ada juga berbaju almamater seperti mahasiswa, ada juga berpakaian biasa saja warga awam.

Terakhir ia menaruh kursi diatas pundaknya lalu berjalan membungkuk seperti binatang onta berpunuk. Bahkan mengikat kursi dilehernya. Ending adegan penutup, lampu menyorot pada bingkai dan terlihat bingkai menggambarkan pesan pertanyaan.
Pertunjukan ini hanya bisa dipertajam dengan medium artistik. Meski  simbol-simbol minim penguat adegan. Cukuplah adegan itu bisa dicerna dengan kepala pusing-pusing bagi penonton pemula. Akan tetapi, terdengar penonton baru bisa mengerti jika ia tepuk tangan melihat aktor beraksi sambil membawa pesan tertentu.

Seperti empat bingkai bergambar tanda tanya kiri dan kanan. Sementara pada bingkai tepat ditengah panggung, dibiarkan kosong sama sekali. Mereka lalu mempertanyakan  dalam dialog “saya harus memilih apa” penontonpun tepuk tangan, ketika lampu menyorot tepat hanya salah satu bingkai sebelah kiri berisi tanda tanya.

Penulis : Subhan Makkuaseng, Makassar, 29 Januari 2013.

( Ulasan lain kabar peristiwa ini juga anda bisa lihat di Koran Tempo Makassar hal-)


Rupa-rupanya Rupa- UKM seni UMI


Rupa-rupanya Rupa- UKM seni UMI

"Mereka adalah sekumpulan anak muda belia mencoba menggaris lekak lekuk kehidupan. Juga mengiris bagian-bagian yang tercerai berai dari bagian-bagian potensi dasar bagi sekian banyak orang. Ia ingin menyebut dirinya seni rupa juga menyebut kelompoknya Galaksi Rupa. Adalah seni berkarya dengan gaya visual." 


(dok. Foto dari kumpulan foto pertunjukan HalamanRumah UPKSBS-UMI)

Tak ada perbincangan cukup lama. Baik apakah ia punya konsep yang baku sebelum ditampilkan. Akan tetapi jelasnya dari, A-Z adalah proses seperti sejalan dengan waktu ia  bergerak sebulan lamanya ia berproses mulai akhir Desember 2012 hingga Januari hingga 28 2013, kata Farid pasilitator mereka. Akhirnya berujung pada malam itu juga pameran karya di Gedung Al-Jibra UMI. Pameran berbentuk kerapian orang dan ketegangan sedang antrian untuk di tonton puluhan orang.   

Hidup dengan cara otodidak, bukan dengan jenjang semester persemester pada sebuah perkuliahan visual. Lalu saya bilang susun saja dengan rapi dengan bahasa saya sendiri selaku penulis. Sebab materialnya memang sudah sudah ada. Sisa disahkan,  yang lainya ikut membantu, serta dikawal oleh pasilitator lainya seperti  Riko juga salah satu anggota UKM Seni UMI juga.

Seandainya ia ibarat sebuah pameran produk industri, bisa jadi itu laku. Namun bisa pula produk itu gagal dan masuk kedalam tong sampah.  Dan kemudian pimpinan perusahaan mereka datang mencak-mencak karena  mengalami kerugian besar. Namun untungya ini hanyalah kreasi bagi kalangan anak-anak  muda yang merdeka. Bukan tumbuh dari mesin yang mengharuskan harus begitu dan begini oleh pihak perusahaan yang memesannya.


Saat ini bagi saya kebebasan beride adalah yang utama bagi mereka. Ia akan bertindak  selalu manajer dalam kelompoknya sendiri, sekaligus iapula menjadi kreatornya sendiri. Mengolah isu sentral juga menarik, karena ia terkait dengan wacana kepedulian. Namun  besar bagi saya yang pernah menjajal tempat itu berharap tak mengulangi pengalaman yang sama dietengah kecanggihan ilmu pengetahuan saat ini. Sisa menarik atau merangkum gagasan-gagasan yang ada diluar diri mereka.



Mereka keroyok proses pengerjaan tersebut, yang lain juga masih sempat tampil dalam aksi Happening Art. Banyak penonton menikmatinya. Sebab pameran ini juga menjadi pintu utama kemasan Pertunjukan Festa Halaman Rumah oleh UKM seni UMI dalam gedung in door Al-Jibra.

Saya teringat  Firman Djamil pernah berkata painting of  finish. Kecanggihan teknologi sudah merenggut semua. Dan mengemasnya lebih dari apa yang kita pikirkan sebelumnya sangat sulit. Tersisa bahwa apakah kita menjadi bagian daripada terknologi itu. Atau teknolgi adalah sarana buat manusia untuk mengolah gagasan-gagasanya. Tersisa adalah meta gagasan, menurut tafsiran saya tentang soal ini.

Sekedar wacana bahwa dunia cat men cat hanyalah rangkaian sejarah teknis, namun paling penting adalah bagaimana mengasah kemampuan meta teknis kita.

Kini saya melihat deretan coretan-coretan sketsa gambar dan seperti poster. Barangkali diangap remeh temeh bagi kalangan profesional. Namun saya bisa berkata bahwa itu adalah potensi besar. Dan keunikan dari sekian banyak potensi yang memang telah diberikan oleh tuhan kepada kita semua sebagai mahluk ciptaan.

Beberapa gambar dari sekumpulan anak-anak manusia ini, termasuk salah satunya membawa banyak simbol tentang uang, koruptor,  juga gambar karikatur masyarakat jelata yang mendongak keawan-awan dan ia menyaksikan gelembung-gelembung pendidikan gratis, pupuk gratis, kesehatan gratis. Yang unik mereka merangkai pensil-pensil warna mereka dalam rangkaian-rangkaian kawat. Saya tertarik gambar gambar megaphone, di ujung megaphone menjulur lidah. Haha, sayapun tertawa…dan bilang sambala, nagappana..

Selain berupa gambar,  juga adapula miniatur rumah kecil dari pohon kelapa reot. Malahan ia hendak memasukkan ayam didalalnya. Tapi, lah…itu sudah terlambat bro, kataku. Acara sudah dimulai.  Dan didepanya sosok gambar orang yang berdasi. Dan bertuliskan mengatakan ini adalah rumah kami. Hal itu kontradiksi yang mereka ingin dia ciptakan lewat wacara pencitraan para politisi kita.  Tak banyak yang bisa saya sebut namanya. Sebab saya banyak lupa nama mereka semua.

Saya jadi teringat dengan masa kecil saya. Teman membawa buku sekolahnya kepada saya dan meminta ia agar saya menggambar sebuah cerita film  yang dia tonton tadi malam dilayar TVRI. Yakni film “Janur Kuning”. Sosok Letkol Soeharto menjadi pemimpin dalam serangan sepuluh november melawan Belanda. Lalu saya menggambar Komaruddin yang berani  tampil kedepan diluar kesepakatan. Dan juga menggambar pesawat-pesawat Belanda  menjatuhkan bom kearah gerilyawan tentara nasional Indonesia disela-sela kawat duri yang mereka berusaha untuk dia tembus.

Nah, itulah pengalaman masa kecil saya waktu itu.


Subhan, Makkuaseng, 6 Pebruari 2013.

Selasa, 05 Februari 2013

Rumah Adalah Sebuah Konsep


Rumah Bugis bukan ruang yang tak bertuan .

Seorang Bugis secara prinsipil mempunyai konsep menjaga batas-batas ruang dalam rumah mereka. Apalagi jika ia bertemu dengan seseorang yang bukan dari kultur mereka. Namun dalam hal  ini ia sangat terbuka dengan segala hal jika anda datang bertamu ke rumahnya.

Dalam rumah mereka terdiri beberapa ruang yang kelihatannya begitu terbuka. Pertama mulai dari halaman rumah, teras rumah ruang tamu dan ruang dapur.  Dalam pergaulan mereka manakala seseorang datang kerumahnya pertama pada umunya ada yang menyapa anda dihalaman rumah, dan ada juga yang menyapa dan mengajak anda masuk kedalam rumah sebagai tamu. Tamu bagi mereka sangat dia hargai. Menyambut tamu begitu terlihat sangat sopan dan terbuka. Pertama ia mempersilahkan anda masuk, setelah itu dia seakan mempersilahkan anda duduk seadanya. Dan menyuguhkan makanan kecil dan minuman.



Wilayah dapur adalah hal sentitif

Namun jangan sangka ketika anda melihatnya begitu ramah dan terbuka mempersilahkan anda dalam ruang tertentu termasuk ruang tamu. Keramah tamahan mereka, bukan berarti   ia terbuka dengan segala hal. Sebab ada juga ruang ia dia tutupi. Salah satunya ruang dapur dan ruang keluarga mereka. Dapur secara simbolik adalah pusat hidup. Dan keluarga adalah pusat untuk menjaga harga diri mereka. Artinya ini hal subtansi dan prinsipil ruang dapur (ekonomi), dan keluarga (komunity).

Ia menyuguhkan sesutu buat anda, seperti menyuguhkan minuman teh dan makanan-makanan seadanya. Pada saat diruang tamu ia seakan memberitahukan anda tentang kondisi dirinya dan ragawinya. Namun ia akan tertutup untuk memberitahukan tentang keluarganya dan juga segala perabot dan isi dalam dapur mereka. Ruang tamu adalah tempat membicarakan tentang hal-hal tujuan, dan maksud kita sehari-hari selama itu tujuan sang tamu baik.

Makanya ada dendang lagu yang selalu kita kenal dari dulu. " Deceng enreki ribola, tejjali tettapere" Artinya kurang lebih maknanya seperti ini : Masuklah kebaikan kerumah kami. Tanpa tikar sebagai bentuk kebanggaan kami. Tamu yang datang di ibaratkan kebaikan. Bukan orangnya atau sang tamunya.

Dalam pergaulan ruang manakala anda masuk dalam rumahnya, dan jika sipemilik rumah membolehkan anda masuk keruang dapur. Atau mengajak anda masuk kedalam rumahnya bukan lewat ruang tamu bagian depan. Akan tetapi melainkan mengajak anda masuk lewat pintu belakang rumahnya, itu artinya ia mulai mengganggap anda begitu dekat dengan si empunya rumah. Dan mulai menganggap anda sudah mulai menjadi bahagian dirinya.

Ia sudah mulai merasa bahwa anda adalah seseorang yang bisa dipercaya. Dan bahkan menjadi bahagian dari kelurga anda. Etika ini berlaku bagi orang bugis. Jika anda sudah begitu dipercaya. Maka secara otomatis, bahwa orang tersebut juga dianggap bisa menanggung harga diri. Artinya sipemilik rumah akan menjaga harga diri ( siri') orang tersebut. Harapananya sipendatang juga menanggung harga diri si pemilik rumah.

Kekeluargaan dalam persepsi Bugis  adalah, adalah juga ruang lingkup (komunity) dan kebertetanggaan, atau ruang lingkup kelompok, meski bukan dalam turunan yang sama. Kita bisa rasakan secara langsung manakala ada orang bugis masih menjamu anda dalam ruang tamu. Maka, otomatis ia masih menganggap bahwa anda adalah tamu dengan batas ruang wajar sebagai orang lain daripada dirinya.  Akan tetapi manakala ia sebaliknya sudah membebaskan seseorang untuk masuk kedalam rumahnya lagi dan bahkan mengetahui aktifitas dapurnya. Siri' nya juga sudah menjadi siri' anda juga. Itu artinya ia akan menganggap bahwa anda adalah saudara yang patut juga dihargai harga dirinya. Atau seperti layaknya keluarga sendiri patut dijaga dalam hal kesulitan apapun.

Perilaku ini masih sebagian berlaku hingga saat ini terhadap masrakat Bugis. Saya pernah punya pengalaman dalam keluarga sewaktu kecil. Sebelum memasuki rumah seseorang pertama perlu mengetahui dimana batas ruang  tamunya. Dan dimana batas ruang dapurnya. Seenaknya masuk kedalam ruang dapur tanpa seizin yang punya rumah seperti pelanggaran etika. Akan tetapi untuk minta izin ini bukan berarti lewat bahasa verbal namun bentuknya kedekatan secara tingkah laku pskologis dan mental. Karena sipemilik rumah akan selalu mencermati anda. Apakah anda sudah menjadi bahagian daripada dirinya, atau bukan.


(Catatan ini ditulis berdasarkan pengalaman, dan juga sumber lain dari perbincagan kami dengan A. Apti Apriadi dari komunitas Mantra Bumi).

Penulis : Subhan Makkuaseng, Pebruari 2013. 

Rumah dan tetangga saya

Rumah saya terdiri pagar, halaman, teras, pintu masuk, ruang tamu, ruang keluarga dan ruang dapur. Kemudian saya bersama keluarga hidup didalamnya, ayah, ibu adik, dan kakak. Rumah saya ini tak jauh beda dengan rumah-rumah yang lainya. Seperti tetangga saya memiliki ruangan-ruangan yang sama hampir sama dengan rumah saya.

Nyaman rasanya, tenang, tidur, makan dan istirahat . Pagi hari keluar rumah, dan pada sore hari saya mengajak tetangga mengobrol diteras rumah saya. Obrolan kami seputar kebertanggaan. Berlanjut sebuah konsep kebertetanggaan.

Awalnya tak ada saling mengganggu satu sama lain, karena masing-masing memiliki rumah tempat istirahat dan menenangkan diri. Hanya saja setiap masalah biasanya kami temukan diluar rumah saya, dimana kami bertemu dengan orang lain, yang bukan bahagian daripada diri kita bahagian dari keluarga yang selama ini kita kenal dengan segala kebiasaan kebiasaanya.

Namun akhir-akhirnya kami mengalami ketidaknyamanan dalam dalam hal kebertetanggan kami.
Ketidak harmonisan itu ketika kami membawa persoalan-persoalan tersebut di halaman rumah kami, dan diluar rumah kami. Disanalah biasanya kami cekcok dan berbeda. Percekcokan diluar rumah, jika tak selesai pada saat itu juga. Pada akhirnya kadangkala  banyak membawa masalah itu saja sampai kedalam rumah untuk dipikirkan. Pelibatan pihak ketiga untuk menyelesaikan persoalan kadangkala buntu. Sebab pihak ketiga berada dalam posisi bukan selaku pelaku.

Masalah dari luar itu kadang menjadi konsumsi pribadi bersama keluarga saja.
Sumber masalah itu ketika saya bertemu dengan orang yang berbeda dengan saya diluar sana. Maka inilah asumsi saya, bahwa percekcokan selalu diawali diluar diri saya. Dan saya membayangkan rumah saya seperti satuan terkecil dari diri saya.