(Saya juga telah membaca salah satu ulasan lain dalam
media cetak TEMPO Makassar.)
"Kebetulan isu ini masih tepat dan
hangat. Pesta demokrasi di Sulawesi Selatan akhir-akhir ini kini usai, yakni
memilih calon gubernur (Pilgub) untuk
periode 2013-2018. Riuh tawa dan canda
juga tangis, kemudian menyusul merasa panik dan menegangkan."
(dok. Kumpulan Foto Pertunjukan Festa Halalaman Rumah)
Dan begitu pentingnya pilihan-pilihan yang tepat. Walau kita belum tahu pasti berapa jumlah orang tak terlibat dalam memlih, kecuali sekedar senang membicarakanya gara-gara media massa selalu mengolahnya.
Dan begitu pentingnya pilihan-pilihan yang tepat. Walau kita belum tahu pasti berapa jumlah orang tak terlibat dalam memlih, kecuali sekedar senang membicarakanya gara-gara media massa selalu mengolahnya.
Harapan terbesar pesta demokrasi
kali ini adalah benar-benar bersih, seperti harapan ke ‘ Indonesiaan’ kita. Juga harapan besar proses demokratisasi berjalan
apa adanya dan para kandidat kandidat menjaga martabat dan menjaga kepercayaan pemilihnya. Bukan
pemanfaatan suara-suara rakyat yang akan memilihnya jauh dari kesan setengah
hati.
Gambaran pertunjukan UKM seni UMI
kali ini masih tergolong jenis pertunjukan tema tumbuh semangat pesimis, juga semangat
oportunis tanda kutip masih setengah
hati untuk mempercayai perilaku politisi dan birokrat pemimpin negri ini. Misalnya
saja judul teater “berebut kursi kosong”. Pertunjukan rangkaian kalimat-kalimat “
interupsi” dan sikap drama oportunis. Dan ada juga beberapa karya lagu
berdendang miris, seperti impian koruptor.
Beberapa orang pemain berlarian kesana kemari. Sebuah pesta demokrasi bisa saja meraih simpatik, namun bisa juga meraih kemalasan tuk melibatkan diri pada rana demokrasi yang konvensional. Kecuali rana aksi lain, seperti salah satunya pertunjukan teater. Hal inilah dilakonkan oleh UKM seni UMI Berebut Bangku Kosong. Gedung Al-Jibra Universitas Muslim Indonesia Makassar. Tema kegiatan Pesta Halaman rumah.
Beberapa orang menertawakan beberapa susun kursi menjulang keatas. Setelah itu ia kemudian menangis, lalu mereka kembali tertawa terpingkal-pingkal, dan tiba-tiba ia merasa ketakutan melihat susunan kursi itu dan berlarian panik keluar.
Para pemain berkostum rapi
lengkap dengan dasi dan sepatu kemudian meloncati kursi satu persatu. Adegan
per-adegan tak menggunakan dialog bukan seperti bahasa percakapan sehari-hari
antara aktor yang satu dengan lainnya. Kecuali
ungkapan penggalan-penggalan narasi yang agresif.
Kursi atau bangku adalah simbol lazim selalu rebutan,
dan sangat sulit untuk dilepas begitu saja yang sudah menguasainya. Namun juga
simbol ketegangan ketika harus diperebutkan, juga symbol malapetaka jika
diperolehnya karena mesti selalu kita berusaha untuk mengamankan diri. Aktor
kemudian bercerita dengan bahasa non verbal hubungan kursi dengan kekuasaan lalu
ia mencengkram kursi dengan erat-erat dan dia memasang dikepalanya seperti
topeng.
Adegan lain berikutnya buah
ilustrasi kursi sebagai jembatan penyeberangan, sementara diatasnya seseorang
menyeberang dengan langkah pelan, menunggu posisi kursi urutan berikutnya. Pembawa
kursi empat orang dengan kostum masyarakat biasa berjalan sambil jongkok dan sembunyi dibelakang kursi,
sepertinya ia menggambarkan masyarakat pengusung deretan-deretan penyusun kursi
dilalui pejabat teras. Termasuk salah satunya ada yang berkain sorban, seperti
layaknya seorang agamawan, ada juga berbaju almamater seperti mahasiswa, ada
juga berpakaian biasa saja warga awam.
Terakhir ia menaruh kursi diatas
pundaknya lalu berjalan membungkuk seperti binatang onta berpunuk. Bahkan
mengikat kursi dilehernya. Ending adegan penutup, lampu menyorot pada bingkai
dan terlihat bingkai menggambarkan pesan pertanyaan.
Pertunjukan ini hanya bisa dipertajam
dengan medium artistik. Meski simbol-simbol
minim penguat adegan. Cukuplah adegan itu bisa dicerna dengan kepala
pusing-pusing bagi penonton pemula. Akan tetapi, terdengar penonton baru bisa
mengerti jika ia tepuk tangan melihat aktor beraksi sambil membawa pesan
tertentu.
Seperti empat bingkai bergambar
tanda tanya kiri dan kanan. Sementara pada bingkai tepat ditengah panggung, dibiarkan
kosong sama sekali. Mereka lalu mempertanyakan
dalam dialog “saya harus memilih apa” penontonpun tepuk tangan, ketika
lampu menyorot tepat hanya salah satu bingkai sebelah kiri berisi tanda tanya.
Penulis : Subhan Makkuaseng,
Makassar, 29 Januari 2013.
( Ulasan lain kabar peristiwa ini
juga anda bisa lihat di Koran Tempo Makassar hal-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar