Rabu, 06 Februari 2013

Berebut “kursi kosong”


(Saya juga telah membaca salah satu ulasan lain dalam media cetak TEMPO Makassar.)

"Kebetulan isu ini masih tepat dan hangat. Pesta demokrasi di Sulawesi Selatan akhir-akhir ini kini usai, yakni memilih  calon gubernur (Pilgub) untuk periode 2013-2018.  Riuh tawa dan canda juga tangis, kemudian menyusul merasa panik dan menegangkan."

(dok. Kumpulan Foto Pertunjukan Festa Halalaman Rumah)



Dan begitu pentingnya pilihan-pilihan yang tepat. Walau kita belum tahu pasti berapa jumlah orang tak terlibat dalam memlih, kecuali sekedar senang membicarakanya gara-gara media massa selalu mengolahnya.
Harapan terbesar pesta demokrasi kali ini adalah benar-benar bersih, seperti harapan ke ‘ Indonesiaan’  kita. Juga harapan besar proses demokratisasi berjalan apa adanya dan para kandidat kandidat menjaga martabat  dan menjaga kepercayaan pemilihnya. Bukan pemanfaatan suara-suara rakyat yang akan memilihnya jauh dari kesan setengah hati.

Gambaran pertunjukan UKM seni UMI kali ini masih tergolong jenis pertunjukan tema tumbuh semangat pesimis, juga semangat oportunis tanda kutip masih  setengah hati untuk mempercayai perilaku politisi dan birokrat pemimpin negri ini. Misalnya saja judul teater “berebut kursi kosong”.  Pertunjukan rangkaian kalimat-kalimat “ interupsi” dan sikap drama oportunis. Dan ada juga beberapa karya lagu berdendang miris, seperti impian koruptor.  




Beberapa orang pemain berlarian kesana kemari. Sebuah pesta demokrasi bisa saja meraih simpatik, namun bisa juga meraih kemalasan tuk melibatkan diri pada rana demokrasi yang konvensional. Kecuali rana aksi lain, seperti salah satunya pertunjukan teater. Hal inilah dilakonkan oleh UKM seni UMI Berebut Bangku Kosong. Gedung Al-Jibra Universitas Muslim Indonesia Makassar. Tema kegiatan Pesta Halaman rumah.


Beberapa orang menertawakan beberapa susun kursi menjulang keatas. Setelah itu ia kemudian menangis, lalu mereka kembali tertawa terpingkal-pingkal, dan tiba-tiba ia merasa ketakutan melihat susunan kursi itu dan berlarian panik keluar.

Para pemain berkostum rapi lengkap dengan dasi dan sepatu kemudian meloncati kursi satu persatu. Adegan per-adegan tak menggunakan dialog bukan seperti bahasa percakapan sehari-hari antara aktor yang satu dengan lainnya.  Kecuali ungkapan penggalan-penggalan narasi yang agresif.
Kursi  atau bangku adalah simbol lazim selalu rebutan, dan sangat sulit untuk dilepas begitu saja yang sudah menguasainya. Namun juga simbol ketegangan ketika harus diperebutkan, juga symbol malapetaka jika diperolehnya karena mesti selalu kita berusaha untuk mengamankan diri. Aktor kemudian bercerita dengan bahasa non verbal hubungan kursi dengan kekuasaan lalu ia mencengkram kursi dengan erat-erat dan dia memasang dikepalanya seperti topeng.

Adegan lain berikutnya buah ilustrasi kursi sebagai jembatan penyeberangan, sementara diatasnya seseorang menyeberang dengan langkah pelan, menunggu posisi kursi urutan berikutnya. Pembawa kursi empat orang dengan kostum masyarakat biasa berjalan sambil  jongkok dan sembunyi dibelakang kursi, sepertinya ia menggambarkan masyarakat pengusung deretan-deretan penyusun kursi dilalui pejabat teras. Termasuk salah satunya ada yang berkain sorban, seperti layaknya seorang agamawan, ada juga berbaju almamater seperti mahasiswa, ada juga berpakaian biasa saja warga awam.

Terakhir ia menaruh kursi diatas pundaknya lalu berjalan membungkuk seperti binatang onta berpunuk. Bahkan mengikat kursi dilehernya. Ending adegan penutup, lampu menyorot pada bingkai dan terlihat bingkai menggambarkan pesan pertanyaan.
Pertunjukan ini hanya bisa dipertajam dengan medium artistik. Meski  simbol-simbol minim penguat adegan. Cukuplah adegan itu bisa dicerna dengan kepala pusing-pusing bagi penonton pemula. Akan tetapi, terdengar penonton baru bisa mengerti jika ia tepuk tangan melihat aktor beraksi sambil membawa pesan tertentu.

Seperti empat bingkai bergambar tanda tanya kiri dan kanan. Sementara pada bingkai tepat ditengah panggung, dibiarkan kosong sama sekali. Mereka lalu mempertanyakan  dalam dialog “saya harus memilih apa” penontonpun tepuk tangan, ketika lampu menyorot tepat hanya salah satu bingkai sebelah kiri berisi tanda tanya.

Penulis : Subhan Makkuaseng, Makassar, 29 Januari 2013.

( Ulasan lain kabar peristiwa ini juga anda bisa lihat di Koran Tempo Makassar hal-)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar