Senin, 28 Januari 2013

Dari rupa “ Tau” menjadi “ Tau”


Rupa “ Tau” menjadi “ Tau”



“bugis selalu berproses untuk menjadi “tau” untuk meletakkan harga diri diatas kepala mereka. Bahkan ia selalu junjung tinggi”.


Pertanyaanya kemudian, apa itu “tau” dan apa tu “rupa tau” bagi  masyarakat Bugis?

Kita sering mendengar pepatah (paseng) Bugis, “sipa’katau”. Akan tetapi terjemahan kita tentang soal itu seakan-akan jadi slogam belaka. Sebab kenyataanya sipakatau, sangat sulit kita kongkritkan dalam kehidupan sehari-hari. Makna si pakatau kadang kita injak-injak sendiri.  Atau tak pernah kita pedulikan. Pada seandainya konsep sipakatau ini kita kejewantahkan konsep kemanusiaan secara universal, maka kita bisa menjadi begitu taat hukum. Dan juga taat, untuk tak mengambil hak-hak orang lain disekeliling kita.

Sebab bisa jadi juga seorang pejabat tak mengenal sipakatau dalam tindakan mereka. Juga seorang  seorang hakim tak melihat sipa' katau dalam mengambil sebuah keputusan. Seorang guru tak memiliki sipakatau terhadap anak didiknya. 

Tenyata akhir-akhir ini kalimat “ Sipa’ katau” hanya slogam untuk meraih kemenangan dalam situasi politik tertentu. Atau sipakatau hanya rayuan bagi orang-orang begitu dekat dengan kekuasaan. Sipa’ katau seakan hanya pantas disampaikan oleh seseorang yang bijak, namun ia kurang bijak dalam seseuatu hal.  Padahal konsep sipakatau adalah asas dasar bagi semua manusia tanpa mengenal kasta. Juga tanpa mengenal kelas siapa.

Konsep si pakatau kita bisa tarik dari kata dasar“ tau” adalah konsep jamak atas manusia sebagai manusia, selain “rupa tau”.

Menurut saya selaku penulis konsep “tau” (manusia)  bagi masyarakat Bugis juga menjadi puncak totalitas kejujujuran martabat seseorang, tanpa topeng.  

Bagi  orang Bugis adalah salah satu suku yang secara prinsipil mengawali dengan pengidentifikasian manusia pada level “ tau” dan “rupa tau”. Siapa itu (tau) manusia, dan siapa itu (rupa tau) wajah manusia. Tidak seperti apa yang dibayangkan Cristian Pelral dalam bukunya Manusia Bugis, sebgai manusia kejam dan pendendam. Karena pada zaman itu hasil penelitian Pelras menempatkan dirinnya sebagai pendatang dari yang mencoba menulis dari sudut pandanng kultur dirinya bukan sebagai subjek sekaligus objek  yang ditulisnya sendiri.
Konsep “Tau” dan “Rupa Tau”

Menurut bahasa kalimat ini terdiri dua suku kata “rupa” dan “tau”. “Rupa” berarti wajah dan  “Tau” adalah manusia. Dan kalau disambung maka ia bermakna wajah manusia. Dan kalau ia hanya menyebut tau berarti totalitas manusia sempurna. Makna “tau” adalah level tertinggi pada tingkat pencapaian manusia Bugis. Jika ia disebut rupa tau, berarti secara otomatis hanyalah berwajah manusia saja. Namun secara hakikat ia bukan manusia, melainkan bisa jadi adalah binatang dan lain-lain sebagainya. Dan saya yakin semua manusia sudah pasti tak akan ada yang mau diperlakukan sebagai bukan manusia.
Pada masyarakat bugis khususnya, jika ada tindakan manusia diluar nalar kemanusiaan lalu ia  berkata seperti ini “ Tau mua ga?”. Artinya apakah ia manusia? Atau bukan manusia. Sifat tindakan, dan perilaku seseorang hingga disebut manusia atau bukan manusia.  Jika seseorang mengenal kita sebagai “tau” maka ia akan menghargai kita sebagaimana adanya hingga hak-hak dasar kemanusiaan kita paling hakiki.

Ini sepertinya sangat prinsipil bagi masyarakat Bugis, dan  ini juga konsep dasar menjadi sumbu penegakan harga diri, “siri” yang sebagian masayarakat daerah ini segelintir masih dia pegang teguh.  Dan bagi masyarakat Bugis, pegindentifikasian bahwa tindakan pemulihan harga diri itu adalah tindakan bentuk wujud “Tau” atau bukan  “Tau”.
Dan saya mengutip salah satu puisi Zawawi Imron dalam buku Mata Badik Mata Puisi 2012. Kurang lebih begini, “ Ketika ujung mata mata badik mengancam mataku, ia mempertanyakan aku, apakah aku ini manusia atau bukan manusia”
Sebuah masalah untuk saya selesaikan diluar. Bersama dengan tetangga saya juga, terhadap orang asing diluar dari saya. Rumah seperti tempatku berpikir, dan diluar seperti tempatku menyelesaikanya dengan cara keluar.
Namun tak pernah terpikirkan kalau ternyata orang  yang saya temani cekcok diluar rumah saya juga memikirkan hal yang sama. Artinya saya berusaha untuk melakukan penyeragaman-penyeragaman sebagai mahluk yang berkawan socius. Atau menjadi “pada tau”.
Keinginan pribadi saya dan keinginan pribadi orang lain. Saya dari rumah saya dan orang lain ini dari rumahnya. Maka kenapa termasuk masyarakat bugis Makassar, hanya mengenal “ Tau” dan “Rupa Tau”


Makassar, 27 Januari 2013.