Minggu, 24 Februari 2013

Budaya Hukum dalam Kajian Filsafat Hukum


Makalah ini adalah presentase kelompok pada mata kuliah filsafat hukum program pasca sarjana Universitas Muslim Indonesia Makassar Sabtu/23/2/2013. Makalah ini adalah kutipan dari penulis Dika Afrizal 2012.  
Presentase Makalah: Muh. Subhan, Januddin, Fitriani Abdillah, A. Nur Fadhillah, Andri Surahman,  Aziz. AT, Hasmawati.
1   
   Latar Belakang Masalah

Pesatnya informasi dan teknologi pada abad ke 20 ini dan pada umumnya sulit untuk diikuti oleh sektor lainya menyebabkan orang berpikir ulang tentang hukum.  Dan mulai melihat interaksi dan memutuskan antara sector hukum dimana hukum tersebut diterapkan.

Ketika mendengar beberapa pemberitaan lewat media. Pandangan masyarakat awam mengatakan bahwa hukum bisa diperjual belikan. Kalau kita memiliki kekuasaan hukum bisa sesuaikan dengan kehendak kekuasaan yang kita miliki. Benarkah demikian? Lantas apa itu hukum, dan apa itu  budaya hukum dalam masyarakat Indonesia.

Masalah hukum dalam masyarakat bukan saja menjadi persoalan bagi kalangan yang membedakan atau mempertentangkan hukum dan masyarakat, akan tetapi juga kalangan yang membedakan kaidah dengan fakta. Ada juga yang mengatakan bahwa budaya hukum identik dengan ketaatan hukum.
Apa yang dimaksud “budaya hukum” adalah keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana system hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Sehingga sepenuhnya hukum itu bisa ditaati dan daya kerja hukum sesuai dengan keinginan masyarakat pada umumnya.

Budaya hukum bukanlah apa yang secara kasar disebut opini publik para antropolog, budaya itu tidak sekedar berarti himpunan fragmen-fragmen tingkah laku (pemikiran) yang saling terlepas, istilah budaya diartikan sebagai keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum.

(Soerjono Soekanto, hukum dan masyarakat universitas Airlangga 1977 : 2) Sehubungan dengan catatan tersebut diatas maka untuk pembahasan pembudayaan hukum hanya akan dibatasi pada bagaimana membudayakan hukum yang dibuat dan diterapkan oleh Pemerintah, inipun sifatnya teoritis.

Untuk memperoleh dasar pembicaraan maka perlu ditegaskan terlebih dahulu apa yang dinamakan hukum diperbagai bidang kehidupan masyarakat yang telah melembaga. Mengutip pendapat Van Apeldoorn pernah menyatakan bahwa hingga kini para yuris masih mencari definisi hukum tanpa hasil yang memuaskan, akan tetapi supaya pembicaraan tidak simpang siur, perlu adanya pegangan sementara oleh karena itu, maka dibawah ini akan diberikan beberapa arti hukum sebagaimana diberikan oleh masyarakat.



                                                                  Rumusan Masalah

1.    Sejauh mana budaya hukum bisa dikaji dalam filsafat hukum
2.    Sejuah mana masyarakat dianggap tahu tentang hukum, memungkinkan efektifitas hukum berlaku bagi masyarakat.


                                                      Karakteristik kajian filosofis hukum.

Kajian filosofis hukum atau kajian filsafat hukum membahas tentang pandangan hukum sebagai perangkat nilai ideal, dalam rangka pembentukan, dan pelaksanaan kaidah hukum. Kajian filosofis adalah kajian  sifatnya ideal. Kajian ini diperankan oleh filsafat hukum. Atau “law in ideas”

Jika dalam kasus pencurian misalnya dalam kajian filosofis objek bahasanya bukan lagi unsur dan beratnya sangksi yang diatur dalam KUHP Pasal 362, tapi aspek edeal dan moral daripada pencurian itu. Pertama mengapa pencurian dikategorikan sebagai kejahatan, dan bukan pelanggaran. Apakah berat sangksi yang diancamkan oleh Undang-Undang terhadap pelaku pencurian sudah adil atau tidak adil. Dan apa dasar moral pembenaran dikenakan sangksi pidana bagi pelaku pencurian.

(kutipan dalam buku Ahmad Ali  (2012): menjelajahi Kajian Empirisme terhadap Hukum) Sisi  lain selama ini kita ketahui bahwa hukum ada norma atau kaidah-kaidah tertulis dan tak tertulis. Dalam kajian normativ hukum.  Misalnya dalam KUH Pidana dalam pasal 362 yaitu.

a.    Barang siapa,
b.    Yang mengambil barang orang lain,
c.    Dengan maksud memiliki,
d.    Dengan jalan melawan hukum.

Kalau perbuatan dilakukan terdakwa ditentukan oleh Pasal 362 KUH Pidana, berarti tedakwa telah terbukti bersalah melakukan pencurian.
Menurut Soharjo Ss (1994) filsafat mencakup tiga bidang permasalahan. (Kutipan dalam diktat Filsafat Hukum Kamri Ahmad SH, M.Hum. 2009.

a.    Problem kenyataan. Metafisika manusia dan alam sekitarnya.
b.    Problem pengetahuan. Teori kebenaran, teori pengetahuan, epistemologi,dan logika.
c.    Problem nilai. Dan teori nilai meliputi: Etika, Estetika, dan keagamaan.

Hukum sebagai seperangkat kaidah yang  mengatur manusia baik secara tertulis maupun yang tak tertulis. Dan filsafat hukum tak akan berhenti pada satu titik saja apabila untuk menemukan kebenaran hukum.
Sangat tidak mudah untuk menemukan kebenaran hukum karena objeknya yang sangat dinamis. Itulah sebanya ada yang dikatakan sebagai ruang dan waktu. Boleh jadi  pada suatu ruang dan waktu tertentu, tidak berkesesuaian dengan ruang waktu yang lain. Misalkan hukum pada masa colonial tidak sama hukum masa sekarang. Begitupun dengan tempat, misalnya lingkungan kuasa berlakunya hukum nasional kita, tidak sama dengan lingkungan kuasa berlakunya nasional negara lain. Seperti negara lain seperti Singapura Malaysia atau Amerika.

Menguji Teori Talcot Parson dalam teori sibenetika, bahwa semua persoalan saling terkait satu sama lainya.

Kemudian hukum ibarat raksasa yang siap baku hadap-hadapan dengan ilmu lainya seperti ilmu politik, ilmu social dan ekonomi. Hukum harus dikedepankan. Ada juga yang berkata politik harus jadi panglima, lalu ekonomi harus didepan sebab segala sesuatunya adalah terkait dengan soal kesejahateraan. Contoh kasus seorang nenek tua tak akan menimpa kasus pencurian biji coklat, jika nenek tersebut memiliki banyak uang ia tak mungkin ia mencuri biji kakao. Begitupun sebaliknya ada juga orang kaya atau pejabat besar memiliki harta banyak tapi ia melakukan korupsi. Jadi hal tersebut bisa jadi adalah tersangkut paut dengan soal perilaku hukum dan taat hukum. Masuk dalam ruang lingkup kajian moral.

                                                               
                                                                    Problem Persepsi

“Sekumpulan aturan atau seperangkat norma yang dibentuk oleh lembaga formal, dengan tujuan untuk mengatur masyarakat. Yang apabila dilanggar akan menimbulkan sangksi” demikianlah rata-rata pada umumnya yang kita dapati pengertian hukum. Dan sisi lain ada juga pakar ahli juga yang mengatakan bahwa hokum sangat sulit untuk didepenisikan karena memiliki banyak segi.

Dan jika apabila sebuah norma dan aturan tersebut terkontak dengan panca idra kita sedemikian rupa, sehingga menciptakan sesuatu dalam otak menciptakan keadaan mental dalam diri kita. Yang mempersepsikan aturan tersebut. Apakah persepsi kita selaras dengan aturan apa yang dimaksud tersebut diatas atau tidak. Apakah pikiran begitu saja menerima hal-hal tersebut diatas. Apakah hasil persepsi tentang norma akan berkesesuian dengan realitas, ataukah apakah pikiran kita menolak realitas tersebut atau tercerminkah dalam realitas dalam gagasan-gagasan tersebut.

 “Apakah ini, apakah itu? Inilah selalu pertanyaan kita tentang sesuatu”.
Terkadang indra kita sangat menipu diri kita sendiri. Contoh kecil saja saya melihat seseorang guru memukul muridnya disekolah. Karena ada sebuah aturan yang mengatakan bahwa guru adalah pendidik dan Pembina. Namun dalam setiap pemukulan tersebut apakah ada jaminan bahwa sang guru tersebut tengah mengajari anak muridnya. Atau seorang mencuri X adalah seorang perempuan perempuan. Ternyata belakangan ternyata adalah seorang waria. Panca  indra kita tak mampu menjangkau sesuatu dibalik semua ini. Misalkan saja kita melihat hakim, polisi, jaksa atau pengacara bersifat kepapakan, berwibawa dan bertindak adil. Persis seorang politikus berbicara  atas nama rakyat tapi melakukan pemerasan. Secara garis besarnya problem tersebut tak mudah dipecahkan hanya mengandalkan panca indra kita dan pengamatan kita. Atau seorang pencuri bisa saja bersembunyi dbalik sebuah aturan.

Problem diatas telah memberi pemahaman kepada kita bahwa persepsi bisa melanda siapa saja, kapan dan dimana saja. Persoalan persepsi terkait denga latar belakang seseorang meilhat soal hokum. Ketika kita menetukan secara seragam “ Apakah hokum itu”. Maka setiap mazahab dan setiap aliran akan memberikan argument dan jika kita perdebatkan maka berhamburanlah perbedaan perbedaan yang makin jauh menyimpan dengan apa yang kita inginkan. Atau keributan yang memalukan bagi  para pakar. Contoh Van Apeldorn, seorang pakar hokum belanda 1960-1970 karyanya menjadi buku wajib bagi pergruan tinggi. Seperti dikatakan Ahmad Ali, menyitir pendapat Soenaryati Hartono, bahwa sejak tahun  1970 an buka Van Apeldorn dinegara asalnya yakni Belanda sudah tidak menjadi literature utama.

Menurut Van Apeldorn, dalam masyarakat ditemukan satu kelompok orang, mereka disebut sebagai. Dan mereka percaya bahwa hokum hanyalah Undang-undang saja. Atau istilahnya “ Ontwekkelde dan the man on the steet.Namun hokum juga terwujud dalam diri polisi, hakim, jaksa, pengacara, dan lain-lain. Menyangkut soal Apeldorn terkait dengan apa yang kita singgung yaitu soal persepsi.
Asumsi bahwa filsafat hokum memiliki soal-soal pokok tersendiri yang kita tidak bisa kita jumpai sama sekali pada filsafat (umum). Misalnya metode juridis dalam hukum mempunyai sifat khusus yang tidak ada dalam filsafat umum. Filsafat hukum membahas soal-soal bertalian khusus dengan hukum.
                                                                                                            

                                                            Asumsi Pembelajaran 

Ilmu hukum dibedakan lagi dalam bentuk ilmu tentang norma. Ilmu tentang pengertian hukum. Ilmu tentang kenyataan hukum. Ilmu lain tentang pengertian hukum antara lain membahas tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat hukum, subjek hukum, objek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum dan hubungan hukum.          

Sedangkan tentang ilmu hukum selama ini kita ketahui terkait dengan dogmatic hukum. Dan Ilmu tentang kenyataan hukum terkait dengan sosiologi hukum, antropologi hukum, psykologi hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.

Sedangkan ilmu tentang norma dan ilmu tentang pengertian hukum, cirri tentang kenyataan hukum ilmu ini adalah teoritis empiris dengan menggunakan logika induktif.
Dari pembidangan ini nampak bahwa filsafat hukum tidak dimasukkan sebagai cabang dari teori hukum “ legal theory ” atau disiplin ilmu hukum. Teori hukum dengan demikian tidak sama dengan filsafat hukum, karena yang satu mencakup dengan yang lainya. Sajipto Rahardjo ( 1986) mengatakan bahwa teori hukum boleh dikatakan adalah usaha melanjutkan mempelajari hukum positif. Secara berurutan tersebut diatas kita mengkontruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.

Teori memang berbicara banyak hal termasuk kedalam lapangan politik hukum, filsafat hukum, ilmu hukum, atau kombinasi dari ketiga ilmu tersebut.

Maka teori hukum dapat saja pada suatu ketika membicarakan sesuatu yang secara universal, tapi tidak menutup kemungkinan ia bicara mengenai hal-hal yang khas menurut tempat dan waktu tertentu. Uraian ini kirannya sangat berguna bagi kita bahwa filsafat hukum dan teori hukum diatas kiranya akan berguna dalam rangka apa dan dimana filsafat hukum itu sendiri.

Nilai-nilai tersebut sangat besar fungsinya bagi keteraturan hudup bersama dan merupakan bagian yang paling normative disamping norma-norma kongkretisasinya dari kebudayaan-kebudayaan manusia yang bersangkutan.

Dari pasangan nilai-nilai tersebut kecendrungan bahwa manusia diatur oleh pasangan-pasangan nilai-nilai kadang saling bersitegang.

a.    Spiritualisme, idealism, dan materialisme
b.    Individualisme dan kolektivisme
c.    Pragmatisme dan voluntarisme
d.    Acsetisisme dan hedunisme
e.    Empirisme dan intitusionisme
f.     Rasionalisme dan romamtisme
g.    Apa pengertian hokum berlaku umum.
h.    Apa dasar kekuatan mengikat suatu hokum.
i.      Apa yang dimaksud dengan hokum kodrat.

Sementara Lili Rasyidi (1990)

a.    Hubungan hokum dengan kekuasaan.
b.    Hubungan hokum dengan nilai social budaya.
c.    Apa sebab Negara berhak menghukum seseorang.
d.    Apa sebab orang mentati hokum.
e.    Masalah pertanggung jawaban
f.     Masalah hak milik.
g.    Masalah kontrak
h.    Masalah peranan hokum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.

Nampaknya apa yang diungkapkan Ali Rasydi persoalan dan pembahasan hokum makin bertambah dibandingkan apa yang diunkapkan oleh Apeldoon. Hal ini diakibatkan karena makin banyaknya ahli berpendapat seperti itu.

Pada jaman dulu sebenarnya menurut para ahli, filsafat hokum hanya produk sampingan dalam kajian penyelidikan para filosof. Namun saat sekarang sudah menjadi kajian utama bahasan sendiri para pakar ilmu hokum. Dalam banyak tulisan filsafat hokum sering di identikan dengan Juriprdence sudah digunakan Codex Iuris Civilis di Di zaman Romawi. Istilah tersebut kemudian dipopulerkan oleh penganut aliran Positivisme hokum. Kata jurisprudence harus dibedakan yurisprudensi  sebagaimana dikenal dalam system hokum Indonesia dan Eropa Kontenental pada umumnya, dimana istilah tersebut merujuk pada keputusan hakim dipengadilan diikuti oleh hakim-hakim yang lain. Huijibers (1988) mengatakan di Inggris Jurisprudensi berarti ajaran atau ilmu hokum. Agar tidak membingunkan istilah Jurisprudensi tidak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi tetap dipertahankan pada bentuk aslinya, seperti diterjemahkan oleh Huijibers diatas menjadi yurisprudensi, dan dipertahan dalam bentuk aslinya. (Baca tulisan Abdul Ghafur Anshari, Gadjah Mada University Press, 2006)

Problem diatas telah memberi pemahaman kepada kita bahwa persepsi bisa melanda siapa saja, kapan dan dimana saja. Persoalan persepsi terkait denga latar belakang seseorang meilhat soal hokum. Ketika kita menetukan secara seragam “ Apakah hokum itu”. Maka setiap mazahab dan setiap aliran akan memberikan argument dan jika kita perdebatkan maka berhamburanlah perbedaan perbedaan yang makin jauh menyimpan dengan apa yang kita inginkan. Atau keributan yang memalukan bagi  para pakar. Contoh Van Apeldorn, seorang pakar hokum belanda 1960-1970 karyanya menjadi buku wajib bagi pergruan tinggi. Seperti dikatakan Ahmad Ali, menyitir pendapat Soenaryati Hartono, bahwa sejak tahun  1970 an buka Van Apeldorn dinegara asalnya yakni Belanda sudah tidak menjadi literature utama.
     
                                                          Hukum dan kebebasan

Sebagaimana yang selalu kita pahami, bahwa dimana ada ikatan disitu “seakan-akan” tidak akan ada kebebasan. Dan perlu pemahaman bahwa hukum itu mengikat manusia atau membebaskan manusia?.
Bagaimana agar hukum itu mengikat supaya manusia itu bebas. Ada beberapa jenis kebebasan.

a.    Kebebasab  dari paksaan luar.
b.    Kebebasan dari paksaan batin.
c.    Kebebasan untuk memilih.

Kebebasan yang dikuasai oleh motif-motif kesusilaan, atau oleh kekuasaan.

Orang Romawi jaman klasik, mengatakan “ de were vrijhed naar de wetten” bahwa kebebasan sebenarnya adalah mendengarkan undang-undang. Pengertian mereka secara mendalam bahwa, jika kita taat kepada hukum mempunyai arti yang dalam. Itu supaya kita dapat hidup bebas. Karena Romawi menganggap bahwa undang-undang itu adalah memberi jaminan atas kebebasannya dan keselamatan atasnya.

Dari beberapa hambatan-hambatan tersebut diatas, akan dapat mengurangi efektifitas pembudayaan hukum dalam masyarakat, apabila masyarakat majemuk yang mempunyai keanekaragaman secara politik ekonomis, sosial maupun kulturil oleh karena itu perlu adanya kesadaran masalah-masalah tersebut oleh karena itu tanpa adanya kesadaran dalam penerapan hukum didalam masyarakat, mungkin pada suatu saat hukum menjadi sarana yang sama sekali kehilangan kewibawaan maupun fungsinya.




                                                                           Kesimpulan

Dari apa yang telah dijelaskan secara garis besar tentang proses pemberdayaan hukum dalam masyarakat secara teoritis maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.    Berhasil tidaknya pembudayaan hukum, senantiasa tergantung pada struktur masyarakat secara keseluruhan, dan terkait dengan nilai-nilai hukum yang dianutnya.
2.    Terdapat suatu asumsi bahwa tiap warga Negara masyarakat dianggap mengetahui hukum. Masalahnya apakah benar demikian?

                                                                            Saran-saran

1.    Pemberdayaan hukum seyogyanya diarahkan pada kesusilaan antara hukum dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat, sebab ada nilai-nilai yang tegas mengandung budaya hukum.
2.    Selama para warga masyarakat masih berpaling pada pemimpin-pemimpinnya maka berhasil tidaknya pembudayaan hukum senatiasa dikaitkan dengan pembenaran teladan oleh para pemimpin-pemimpinya.  


                                                                        Daftar Pustaka
Abdul Ghafur, 2006. Judul Buku: Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan.    Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Ahmad Ali Achmad Ali  (2012): menjelajahi Kajian Empirisme terhadap Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Anton F Susanto,  2007. Judul : Hukum Consilrnce Menuju Pradigma Hukum Konstruktif dan Transgresif.  Penerbit, Refika Aditama.
Dika Afrizal, 2011, Makalah Budaya Hukum Dalam Masyarakat Indonesia.
H. Riduan Syahrani, 2004. Judul: Rangkaian Intisari Ilmu Hukum,  Penerbit PT Citra Aditya Bakti.
Kamri Ahmad, 2009, diktat Filsafat Hukum S2 Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia. Makassar.
Sudikno Mertokusumo, Judul buku:  Penemuan Hukum, Penerbit, Liberty Yogyakarta 1966.


1 komentar:

  1. Menurut hemat saya, rekan-rekan perlu untuk menelaah kembali masalah tulisan ini. Sebagai catatan bahwa filsafat, termasuk filsafat hukum" adalah pisau analisis. Lalu sampau dimana ? Ya, sampai dimana hukum itu mau dianalisis sampai di situlah filsafat hukum, bahkan lebih jauh lagi. Kesmimpulan dan masalah tidak relevan. Ini sekedar masukan. Selamat.

    BalasHapus