Mozaik



Di- Bawah Lampu Teater

Foto Dok UKM Seni UMI. Teater Tangan " Kupartai Batu"

(Catatan Subhan Makkuaseng Mei 2012) 

Dibawah lampu ternyata kami bercerita tentang teater. Seni pertunjukan teater  di Makassar akhir-akhir ini-pun kurang bergairah. Sehingga tak ada lagi pertunjukan teater yang benar-benar serius.

Alasan ketak seriusan itu, pertama karena menurunnya keberanian, lesu dan lemas. Dan sepertinya teater adalah menjadi sesuatu yang sia-sia untuk dipikirkan bersama. Kedua karena sampai saat ini tak ada kontribusi atas masyarakat atau penggemarnya. Faktanya, bekerja dalam teater kurang banyak bisa meraup untung. Baik secara financial kecuali hanya kepuasan bathin.

Cita-cita tentang idealnya dan indahnya berteater, yah tetap saja terasa nihil dan tak berkembang jauh menuju proses kreatifitas dan kemandirianya. Apakah berteater adalah pekerjaan, atau sekedar hoby.
Sepertinya, ini tak perlu di Jawab..  

Menurut saudara Bram, apakah Teater masih dibutuhkan? Asumsinya,  biarkan teater seharusnya sampai ketitik koma, atau dan betul-betul mati sama sekali. Sehingga publik menpertanyakan  ulang kembali apa sebenarnya itu teater. Kalau perlu, bertanya siapa yang telah meninggal beberapa tahun lalu itu?. Artinya jika nanti kita tak mempertanyakan lagi. Ini berarti benar-benar, bahwa teater tak dibutuhkan.  

Itu berarti tunggu bisikan bahwa, “ KITA BUTUH TEATER”. Maka membiarkan sampai ketitik kosong sama sekali.  Walaupun pada dasarnya di kota-kota besar masih saja ada pertunjukan digelar digedung-gedung pertunjukan. Dan untuk kota Makassar ini mungkin kita istirahat dulu, sambil menyaksikan berkembangya pembangunan mental dan fisik kota ini.

Kata Mamat Mariamang, ah sama saja dimana-mana juga kegelisahanya sama. Disini dan disitu. Dan problem semua komunitas mengatas namakan kelompok teater tetap sama. Hidup professional, cari duit, dan menghidupi teater.

Kata Mamat Mariaman penggemar teater, dari teater tangan ini.
Walaupun pada dasarnya banyak yang berpendapat. Bahwa teater itu tak pernah dipikirkan secara professional, seperti mengelola penonton, mengelola actor, dan me manage secara professional pertunjukan.

Sisi lain, bahwa teater adalah ritual dan spiritual. Tapi apakah ini betul ada?
Yang terakhir, bekerja di teater adalah pekerjaan kurang menguntungkan. Tak sama dengan pekerjaan lainya, seperti bertani, berdagang, atau jadi politikus, dan birokrasi pemerintahan. Dan  mau tak mau, kita harus jujur mengakui hal itu.

Apalagi ditengah-tengah promosi besar-besaran produk hiburan lain yang rata-rata berkolaborasi dengan iklan industri besar. Teater, banyak tak berani atau tanpak malu-malu kucing untuk menyentuh wilayah itu. Padahal kadang juga sih, ia terkam dengan cara diam-diam.
Santap saja Coy...

Karena alasanya, wilayah itu sangat mengerikan. Dan akan meracuni Idealisme teater. Atau sebaliknya indutri mencap bahwa teater itu egois. Makin lama, jurang makin terpisah antara mereka berdua. Mengusung idealisme, dan mengusung sponsor.

Padahal bagi pekerja teater serius. Semua adalah butuh duit.
Di Makassar ada kurang lebih 40 an kelompok seni kampus yang “berbiji” teater (coba ricek group facebook Pekerja Seni Kampus (PSK), perkembang biakan ini terjadi kira-kira mulai pada tahun 2004 menyusul beberapa event yang selalu dihelat dengan garapan memang alasan teater kalimat ”Kita juga harus berteater” .  

Ini terkait soal jumlah komunitas. Namun terkait dengan kualitas dan keinginan tuk serius. Saya sama sekali tak tahu.
Kenapa generasi terakhir, tak pernah mau memilih teater sebagai suatu hal yang menyenangkan. Tak ada yang bisa disalahkan. Sebab semua, mau tak mau tak ada sama sekali orang mau bekerja dengan sia-sia seperti mengerjakan teater. Akan tetapi zaman kontemporer ini saya selalu menafsirkan berdeda. Bahwa semua sah-sah saja, tak ada yang tak dibolehkan berpikir tentang teater, dan tak berpikir teater. Entah itu sudut pandang positif atau negative. Karena kedua-duanya punya alasan.

Apalagi honor teater mau dijadikan sebagai sumber penghasilan tetap. Mana mungkin bisa hidup kaya dengan teater. Disusul, tak ada alternative gerakan terbaru buat teater. Seperti apa yang dialami kelompok teater profesional yang ada di  Kota Besar Jakarta. Akan tetapi diluar dugaan apa yang dilakukan Nano Riantiarno, dengan bukti “ KOMA” eksis dengan jalan hidup teater dan mampu menghidupi kelompok teaternya.

Keraguan seperti ini sebenarnya, mirip apa yang terjadi pada tahun 1980-1990 an di Kota besar Jakarta . Ketika Nano hanya menghabiskan uang dengan teater.  Kemudian WS Rendra dengan “BENGKEL RENDRA”. Dan memilih cara berpikir berkebun sambil main teater.
Namun saya yakin mereka sangat menyenangi teater itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar