Selasa, 19 Maret 2013

Panggalo: Aduh, Jalanan Rusak Parah


Perjalanan kali ini saya menuju desa Panggalo.(Minggu 10-15 Maret 2013).
Desa Panggalo di jaga oleh sebuah gunung bernama Gunung Pada-pada. Desa ini berjarak kurang lebih 17 kilo meter dari jalan poros Majene dan Mamuju. Sementara jarak  dari Ibukota Provinsi Sulawesi Barat kekampung itu kurang lebih 108 Kilometer. 

Sarana jalan menuju kampung tersebut rusak cukup parah. Jika kita menuju kesana menggunakan kendaraan roda dua saja begitu sulit. Jikapun ada yang bisa melewatinya memerlukan keahlian khusus. Istilah warga, melewati jalan tersebut harus cekatan memainkan perseneling gigi satu pada kendaraan roda dua. 

Selain tanjakan cukup tajam, dan juga penurunan cukup curam, jalanan patah-patah. Kita juga melewati dua sungai yang kadang banjir. Begitu juga ada jembatan gantung berayun-ayun. Kalau orang baru kesana sangat sulit untuk melewatinya, kecuali jika itu menjadi tantangan tersendiri buat mereka. Apalagi jika musim hujan tiba warga saja tak berani melewatinya, sebab pasti jalanan menjadi licin. Kecuali dengan cara jalan kaki dengan jarak tempuh sampai kurang lebih sekitar 6 jam sampai ke jalan poros. 



Dengan sewa ojek lalu akhirnya saya tiba pukul 17.00 sore hari. (Minggu/10/2/2013). 

Kampung tersebut dikawal oleh gunung Padapada dengan ketinggian kurang lebih 9000 meter dari permukaan laut. Bahasa penduduk asli menggunakan bahasa Pannei, atau juga bahasa Mandar.

Meski dikatakan kampung tersebut bertanah subur hasil kebun cengkeh, kakao, dan kopi bisa tumbuh, namun semua itu sulit untuk dijual menuju kota gara-gara akses jalan menuju kampung yang begitu sulit. Selain itu warga juga menanam padi lading untuk komsumsi sehari hari mereka sebagai makanan pokok. Pengolahan padi lading tersebut menjadi beras masih menggunakan cara tradisional dengan menumbuk di lesung kayu.

“ Sebenarnya masalah paling mendesak warga disini adalah soal sarana jalan menuju kampung yang rusak parah. Sehingga akses untuk jual hasil kebun sangat sulit”, ujar Puddin kepala desa mereka ketika saya tiba dirumahnya.

Konon nama desa Panggalo berasal dari nama tanaman pohon obat.  Selain itu kabar lain dari warga setempat, bahwa desa ini dikekenal memiliki peliharaan ayam yang unik. Katanya jenis ayam tersebut berbeda dengan jenis ayam kampung lainya. Jenis ayam Panggalo memiliki fisik tinggi dibandingkan dengan ayam-ayam kampung  lainnya. Sehingga banyak orang senang memesan ayam Panggalo buat peliharaan saja. Meski dengan harga yang cukup mahal, sampai Rp.400.000 ribu hingga Rp. 500.000.

Desa ini disepakati oleh empat dusun untuk menjadi desa pada tahun 2010. Yaitu, Panggalo, Kolehalang, Tasambulang, dan Udung Lemo. Karena desa ini pecahan dari salah satu desa di ke kecamatan Ulumanda ini.


Dua kali panen, lima tahun baru kembali lagi

Gaya kebiasaan petani padi adalah berladang pindah. Dengan padi ladang mereka tanam dilereng-lereng pegunungan.  Alasan berladang pindah, karena tanah yang habis ditanami padi sampai dua kali panen tak subur lagi.Sementara untuk membuatnya kembali subur membutuhkan waktu hingga 5 tahun secara alami. Setelah tanah  tersebut kembali ditumbuhi semak belukar.


Prinsip Hidup Warga Panggalo Beradat Hidup

“Mesakada nipatuho, pantang kada nipomate”,.

Mereka sangat akrab dengan petuah ini, dan orang-orang tua dulu mereka sangat berusaha untuk hidup petuah tersebut.

Kurang lebih artinya satu kata dihidupi, banyak kata dibawa mati. Konon katanya warga kampung ini mempercayai tetua adat mereka. Meski belakangan sudah mulai pudar.

Apapun yang diputuskan oleh adat itulah jadi keputusan bersama. Mereka menilai orang-orang pesisir, sangat senang dengan adat mati. Sementara kampung tersebut berpantang dengan adat mati. Ia memilih, adat hidup. Istilah mereka.

Jika seorang warga melakukan tumpah darah, atau pembunuhan. Seseorang harus membayarnya dengan memotong  kerbau untuk diberi makan pada orang banyak atau untuk adat.  Atau disebut sebagai denda adat.

(Catatan perjalanan saya ini untuk saya catat pribadi. Dalam kegiatan survey evaluasi kualitas demokrasi, dan evaluasi kebijakan public. Oleh Celebes Research Centre (CRC)). 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar