Rabu, 27 Maret 2013

Bunyi Bebas Nilai


UrbanEgss “Mengeram”, Bunyi bebas nilai.

Subhan Makkuaseng,

Ruangan berukuran 5x5 persegi blok D Nomor 7 perumahan Bumi Permata Hijau (BPH) Tala, Salapang Kota Makassar. Beberapa kendaran roda dua terparkir. Dan didalam rumah  terlihat  kurang lebih sepuluh orang pemain musik rata-rata anak muda.
Sekumpulan anak muda Makassar, Sul-sel dan Indonesia ini adalah pemain musik,  namun cara bermusik mereka sedikit beda dengan kelompok musik band masnyarakat konsumtif kita pada umumnya. Bahkan warna musiknya  tak sepopuler  seperti  musisi artis layar kaca, akan tetapi ada sikap bermusik dia miliki membuatnya menjadi jadi kaya eksperimen nada, unik dan berwarna.
Menurut kacamata pribadi saya mereka mengedepankan harmonisasi nada-nada instrument. Selingan vokal sangat minim  sampai ditelinga. Kelompok musik inilah akan menginspirasi tema  terbarunya “bunyi bebas nilai”.  Beberapa alat musik yang dipakai salah satunya gendang Makassar “ganrang”, Sinrilik, flute, Violin, Banjo, Cukulele dan alat  musik elektrik lainya.
Saat mendengarkanya, dibenak saya ini warna musik apa. Selanjutnya susunan nada-nadanya ringan, (saya pakai istilah sendiri saja) bisa jadi meng-etnik nasional, meng-Jazz nasional, meng-orkestra nasional bahkan meng- musik- meng-universal dengan paradigma global kita. Dari beberapa alat musik tradisional dalam negri, seperti ganrang Makassar ibarat mendapatkan tugas untuk berevolusi secara kasat mata dengan bunyi alat musik  lainya menjelaskan identitasnya.  Dan kemudian diayun-ayun dengan iringan flute terbentuklah nada-nada yang bersahaja, meriak tapi santun.

Itulah “Urban Eggs” ia “mengeram”  menginspirasi proses kerja bermusiknya disalah satu rumah Bumi Permata Hijau (BPH) Tala’ Salapang yang mereka tempati latihan beberapa waktu lalu.  Persiapan ini untuk tampilan terbarunya yang akan dilangsungkan pada 28-Oktober 2010 di Sociated de Harmony pekan depan, dengan tema “ Bunyi bebas nilai”.

Karya Urban Eggs ini belum lazim di Makassar, namun untuk kalangan masyarakat  pecinta  musik diluar daerah kita ini  sudah banyak penikmatnya” Termasuk seperti di Solo Jawa-Tengah, Jogyakarta garapan-garapan musik pertujukan seperti ini banyak pilihan. Dan banyak tempat bisa kita saksikan disana,” ujar Aristofani Fahmi sapaan akrab  Itto pengarasemen gagasan ini. Ia ungkapkan pengalamannya selama mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo.
Memang patut diakui  di kota ini,  “menginspirasi” hal-hal seperti  ini  belum begitu memberi titik harapan angin segar, apalagi beberapa elemen diharapkan bisa membantu belum menyakini itu. Semua orang tahu proses garapan music seperti ini bukan dikerjakan dalam satu minggu saja, akan tetapi kadang berbulan-bulan “pengeraman”, karena butuh ide pikiran dan perasaan untuk melakukan berbagai penyesuian-penyesuaian. Sebab penyesuaian demi penyesuaian itu akhirnya membentuk sikap-sikap dari karya-karya mereka, yang lainya  secara teknis termasuk menyesuikan para pemain2 nya. Dan diluar teknis garapan juga sangat butuh manajer yang konsentrasi. Itulah wahana kreatifitas.

Untuk persiapan kali ini, menurut kabar Urban Eggs sempat mendatangi beberapa intansi untuk meminta dukungan, termasuk Dinas Pariwisata, Dinas Pemuda Dan Olah Raga (Dispora) namun tak ada respon meyakinkan mereka. Malahan Instansi seperti ini saling menujuk siapa yang layak untuk sponsor. “ Termasuk di Kesbang Pemvrop, diminta sebagai kelompok musik yang terdaftar dan bernomor induk, sementara di Dispora Provinsi, mereka bilang dana seperti itu ada pada Dinas Pariwisata, “ ungkap Itto menirukan saat aundiens. Sementara  untuk sponsor produk, rata-rata belum antusias melakukan kerja sama dengan ide-ide seperti ini. Alasanya sponsor produk banyak memilih pasar band-musik festival “ Yah, sudahlah kita tak usah berharap banyak, kita jalan sajalah” kata  Itto singkat dan meyakinkan.
( Catatan saya: Para prinsipinya secara cultural, pikiran dan nilai-nilai kita belum banyak mewarnai)
Selain itu kata alumni Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo Jawa Tengah ini,  tema bebas nilai sempat jadi beban, karena beberapa tokoh budayawan Sul-sel secara filosofi  menyebutnya tak ada sesuatu yang bebas nilai. Semua pasti terukur dan bisa dinilai.  Bagi Itto, ini bisa dinikmati , tidak  terlalu  jauh bicara soal  subtansi  tentang pengertian tema, tapi ingin  membuat sesuatu sedikit bombastis dengan tema itu. Dalam artian, semua orang bebas bisa member arti dengan menggunakan kacamata apapun. Karena rencana akhir penampilan nanti akan membuka apresiasi dan ruang diskusi agar ada wacana. Dengan menghadirkan budayawan Sul-sel.
Sedikit catatan, beberapa tahun yang lalu kelompok musik Urban Eggs ini dari awal pertunjukan perdananya mereka beri tema,“ Mainminemind”, kalau tidak salah pada tahun 2009 Gedung Kesenian Makassar Suciateid De Harmonie dan  beberapa bulan kemudian dilanjutkan perhelatanya keliling di kampus-kampus untuk Mahasiswa Kota Makassar, sekaligus gelar workshop metode bermusik yang gampang bagi kalangan mahasiswa.
Yang menarik,kelompok ini  mereka sangat antusias memperkenalkan dirinya dengan cara berjaringan, seperti halnya jaringan pertemanan lainya yang mau memberi support dukungan moril dan materil gagasanya. “ Kami jaringan saja dengan orang-orang yang mau membantu” paparnya.


24- Oktober 2010.
“Catatan: Tulisan ini sama sekali saya tak ingin menumpang sebuah nama, akan tetapi saya juga belajar mengutip dan menulis”
(Subhan Makkuaseng)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar