UrbanEgss “Mengeram”, Bunyi bebas nilai.
Subhan Makkuaseng,
Ruangan berukuran 5x5 persegi blok D Nomor 7
perumahan Bumi Permata Hijau (BPH) Tala, Salapang Kota Makassar. Beberapa
kendaran roda dua terparkir. Dan didalam rumah terlihat kurang lebih
sepuluh orang pemain musik rata-rata anak muda.
Sekumpulan anak muda Makassar, Sul-sel dan
Indonesia ini adalah pemain musik, namun cara bermusik mereka sedikit
beda dengan kelompok musik band masnyarakat konsumtif kita pada umumnya. Bahkan
warna musiknya tak sepopuler seperti musisi artis layar kaca,
akan tetapi ada sikap bermusik dia miliki membuatnya menjadi jadi kaya
eksperimen nada, unik dan berwarna.
Menurut kacamata pribadi saya mereka
mengedepankan harmonisasi nada-nada instrument. Selingan vokal sangat
minim sampai ditelinga. Kelompok musik inilah akan menginspirasi
tema terbarunya “bunyi bebas
nilai”. Beberapa alat musik yang dipakai salah satunya gendang
Makassar “ganrang”, Sinrilik, flute, Violin, Banjo, Cukulele dan alat
musik elektrik lainya.
Saat mendengarkanya, dibenak saya ini warna musik
apa. Selanjutnya susunan nada-nadanya ringan, (saya pakai istilah sendiri saja)
bisa jadi meng-etnik nasional, meng-Jazz nasional, meng-orkestra nasional
bahkan meng- musik- meng-universal dengan paradigma global kita. Dari beberapa
alat musik tradisional dalam negri, seperti ganrang Makassar ibarat mendapatkan
tugas untuk berevolusi secara kasat mata dengan bunyi alat musik lainya
menjelaskan identitasnya. Dan kemudian diayun-ayun dengan iringan flute
terbentuklah nada-nada yang bersahaja, meriak tapi santun.
Itulah “Urban Eggs” ia “mengeram”
menginspirasi proses kerja bermusiknya disalah satu rumah Bumi Permata
Hijau (BPH) Tala’ Salapang yang mereka tempati latihan beberapa waktu
lalu. Persiapan ini untuk tampilan terbarunya yang akan dilangsungkan
pada 28-Oktober 2010 di Sociated de Harmony pekan depan, dengan tema “ Bunyi
bebas nilai”.
Karya Urban Eggs ini belum lazim di Makassar,
namun untuk kalangan masyarakat pecinta musik diluar daerah kita
ini sudah banyak penikmatnya” Termasuk seperti di Solo Jawa-Tengah,
Jogyakarta garapan-garapan musik pertujukan seperti ini banyak pilihan. Dan
banyak tempat bisa kita saksikan disana,” ujar Aristofani Fahmi sapaan
akrab Itto pengarasemen gagasan ini. Ia ungkapkan pengalamannya selama
mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo.
Memang patut diakui di kota ini,
“menginspirasi” hal-hal seperti ini belum begitu memberi
titik harapan angin segar, apalagi beberapa elemen diharapkan bisa membantu
belum menyakini itu. Semua orang tahu proses garapan music seperti ini bukan
dikerjakan dalam satu minggu saja, akan tetapi kadang berbulan-bulan
“pengeraman”, karena butuh ide pikiran dan perasaan untuk melakukan berbagai
penyesuian-penyesuaian. Sebab penyesuaian demi penyesuaian itu akhirnya
membentuk sikap-sikap dari karya-karya mereka, yang lainya secara teknis
termasuk menyesuikan para pemain2 nya. Dan diluar teknis garapan juga sangat
butuh manajer yang konsentrasi. Itulah wahana kreatifitas.
Untuk persiapan kali ini, menurut kabar Urban
Eggs sempat mendatangi beberapa intansi untuk meminta dukungan, termasuk Dinas
Pariwisata, Dinas Pemuda Dan Olah Raga (Dispora) namun tak ada respon
meyakinkan mereka. Malahan Instansi seperti ini saling menujuk siapa yang layak
untuk sponsor. “ Termasuk di Kesbang Pemvrop, diminta sebagai kelompok musik
yang terdaftar dan bernomor induk, sementara di Dispora Provinsi, mereka bilang
dana seperti itu ada pada Dinas Pariwisata, “ ungkap Itto menirukan saat
aundiens. Sementara untuk sponsor produk, rata-rata belum antusias
melakukan kerja sama dengan ide-ide seperti ini. Alasanya sponsor produk banyak
memilih pasar band-musik festival “ Yah, sudahlah kita tak usah berharap
banyak, kita jalan sajalah” kata Itto singkat dan meyakinkan.
( Catatan saya: Para prinsipinya secara cultural,
pikiran dan nilai-nilai kita belum banyak mewarnai)
Selain itu kata alumni Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) Solo Jawa Tengah ini, tema bebas nilai sempat jadi beban,
karena beberapa tokoh budayawan Sul-sel secara filosofi menyebutnya tak
ada sesuatu yang bebas nilai. Semua pasti terukur dan bisa dinilai. Bagi
Itto, ini bisa dinikmati , tidak terlalu jauh bicara soal
subtansi tentang pengertian tema, tapi ingin membuat sesuatu
sedikit bombastis dengan tema itu. Dalam artian, semua orang bebas bisa member
arti dengan menggunakan kacamata apapun. Karena rencana akhir penampilan nanti
akan membuka apresiasi dan ruang diskusi agar ada wacana. Dengan menghadirkan budayawan
Sul-sel.
Sedikit catatan, beberapa tahun yang lalu
kelompok musik Urban Eggs ini dari awal pertunjukan perdananya mereka beri
tema,“ Mainminemind”, kalau tidak salah pada tahun 2009 Gedung
Kesenian Makassar Suciateid De Harmonie dan beberapa bulan kemudian
dilanjutkan perhelatanya keliling di kampus-kampus untuk Mahasiswa Kota
Makassar, sekaligus gelar workshop metode bermusik yang gampang bagi kalangan
mahasiswa.
Yang menarik,kelompok ini mereka sangat
antusias memperkenalkan dirinya dengan cara berjaringan, seperti halnya
jaringan pertemanan lainya yang mau memberi support dukungan moril dan materil
gagasanya. “ Kami jaringan saja dengan orang-orang yang mau membantu” paparnya.
24- Oktober 2010.
“Catatan: Tulisan ini sama sekali saya tak ingin menumpang sebuah nama, akan tetapi saya juga belajar mengutip dan menulis”
(Subhan Makkuaseng)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar