Kamis, 28 Maret 2013

Kaffah


Soliloqui : Kaffah

Status teman saya di situs jaringan social facebook mengatakan seperti ini. Islam itu agama universal, dan masuklah kedalam Islam secara kaffah (total). Status ini berpengertian bahwa Islam memiliki kekuatan, bahwa Islamlah yang memiliki kebenaran sempurna

Kategori universal adalah berlaku umum. Dan lainnya adalah, seruan perintah untuk masuk kedalam ajaran itu secara kaffah. Penyerahan diri mengikuti perintah totalitas, bukan berarti dari sebuah terjemahan yang dibuat oleh manusia atau diterjemahkan manusia. Kalau memang kaffah adalah firman yang sakral yang dimiliki langsung oleh tuhan.  

Ber da’wah. Dan dibalik keinginan seperti itu sebenarnya identik dengan keinginan dirinya tentang orang lain. Keinginan itu puncaknya, terjemahan tentang dirinya atas sebuah teks teks ayat. Islam juga mengalami gejala positivisme pembakuan diri, lalu jika memberi batas tertentu dengan sebuah pernyataan manusia.

“Saya diutus oleh Allah untuk melengkapi, ajaran-ajaran sebelumnya”, kata Ralulullah S.(Liutammima akhlaqul karimah). Ahlaq dalam Islam tak selamanya diartikan adalah moralitas, akan tetapi ia selalu berkaitan dengan perbuatan dan tata cara berhidup di dunia yang benar tampa pertumpahan darah, sebagaimana yang di khawatirkan malaikat ketika Allah hendak menciptakan manusia. Lantas setelah meninggalnya Rasulullah beberapa waktu kemudian dilanjutkan saripati ajaran itu oleh keempat sahabatnya, Abu Bakar, Usman, Ali dan Umar.

Ekspansi penyebaran Islam selalu berlatar belakang da’wah seruan masuk kedalam ajaran keputusan seperti ini. Kita bisa bayangkan pasca wafatnya Rasulullah masyarakat ketika mengalami krisis kepercayaan dan panutan karena begitu besar pengkultusan masayarakat Islam terhadap Rasulullah. Khilafah turun temurun, sejarah tak ada yang bisa membantah peristiwa karbala akibat pertarungan kekuasaan antara Muawiah dan keturunan Ali Bin Abu Thalib (baca konflik sunni dan syiah). Adalah konflik internal kelimpahan tanggung jawab dan kerakusan kekuasaan. Dan tak bisa dipungkiri, sangat kurang menyenangkan.

Dan sampai saat status da’wah dan berada di jalan pion-pion itu. Ditambah lagi perang salib meninggalkan sejarah yang juga hampir sama ketika pertemuan Islam agama kekuatan kekuasaan percampuran misi agama juga berhadapan misi salib dengan kekuatan kekuasaan roma juga sama. Dan maksud saya bukan sunni apa yang dipercayai kita pada mashab-mashab syar’i.

Konflik internal Islam itu sendiri atau kalau tak mau disebut, selalu diawali konflik interpretasi. Dan sementara kalau kita berkonflik dengan sesama agama samawi juga hampir sama sejarahnya adalah perang misi. Yang paling mengerikan sebenarnya jika klaim kafir, klain kemurtadan masih selalu melekat pada diri Islam itu sendiri akan merusak dirinya sendiri. Sepertinya ini selalu jadi pemicu, karena kata-kata itu juga telah dipatok mati. Fasik, Syirik, dan Munafik akan memojokkan diri meninggalkan sentiment yang kurang manusiawi dikemudian hari.  

Coba kita juga mengingat sejarah kita, kala ditanah air tercinta Indonesia ini, Islam begitu besar andilnya mengusir penjajah di negri ini. Dengan prinsip jihad, namun perlu diketahui prinsip jihad pada dasarnya tak selalu identik dengan kesadaran. Namun juga memerdekakan kemanusiaan kita secara masuk akal. Akan tetapi prinsip hampir seirama dengan melawan kebatilan. Melawan yang bukan Islam seperti tradisi dendam perang salib, dan kebetulan saja orang eropa rata-rata bukan Islam saat itu. Jadi bisa dititipkan bahwa kita sedang berhadapan dengan penjajah kafir. Ini warisan sejarah perang pertemuan sejarah timur dan eropa.

Kita lihat lagi beberapa aliran, dan cara pandang Islam beragam di Indonesia juga seperti memiliki moment tersendiri selalu siap meledak. Padahal rata-rata adalah ajaran nenek moyang, yang kurang lebih tak bisa memerdekakan atau mempluralkan.

Sentimen fasik atau syirik dan munafik bagi agama yang telah mendapatkan legitimasi kekuasaan menyalahkan minoritas, atau sudut pandang berbeda. Akhirnya masyarakat kita dijebak masuk kedalam system yang tak masuk akal dengan alasan ajaran agama. Prinsip ajaran agama rata-rata adalah soal konsistensi, ujian dan keimanan.
Rasululullah pernah bersabda perang paling dahsyat yang pernah dialaminya selain perang badar yaitu melawan hawa nafsu. Artinya juga ummat akan mengalami hal yang sama yaitu perang dengan hawa nafsu.

Menpercayai teks yang mati, dibarengi oleh nafsu, seperti seolah-olah jihad bagi jaman ini. Aku percaya itu, karena saya alami sendiri, ketika saya disebut-sebut kafir karena berani “nyeletuk” seenaknya menyatakan bahwa teks itu telah hilang karena sebagian telah melebur dalam tafsir diri masing-masing manusia.

Coba bayangkan intelektual Islam, yang memang hanya mempelajari Islam saja sejak sekolah lama hingga gaya baru. Selalu bermimpi mengembalikan kejayaan masa lalu seperti pernah terjadi di Kejayaan Cordova. Ah, mana ada justru itu adalah suatu penurunan kualitas untuk zaman ini. Siapapun juga tak ada orang mau kembali kemasa lalu.

Meskipun peristiwa itu begitu indah, apalagi itu sama sekali melanggar kodrat alam yang di ciptakan oleh Allah sendiri. Seperti mimpi anak kecil si “Doraemon” mesin waktu. Katanya kita lupa berangkat dari Al Qur’an. Dan memang sekarang banyak hafal Al-Quran, tapi tidak banyak dimengerti itu apa. Ada juga sudah mengerti, teryata bukan malah mengerti tapi jutru dia hafal pengertian orang-orang dulu yang pernah menafsirkanya sama sekali. Artinya kan sama saja. Disini tak ada hafal hidup, tapi justru hafal mati. Setelah dihafal yah, mati sudah dan sangat dingin.

Al-Qur'an, Kalamullah yang azali. Tak habis air laut untuk menuliskan nama-namanya. Dan nama ada pengidentitasan terhadap segala sesuatu.

Coba nonton film The Book of Elli sambil melepas beban kefanatikan ajaran yang kurang mendewasakan kita. Ketika sang tokoh pemeran utama dalam film ini memberikan kitab itu kepada lawanya yang selalu memburunya setiap saat gara-gara mencari kita suci injil (Kristen). Dan bagaimanapun dia membuka kitab itu tapi itu tak bisa dimengerti oleh pikiran yang bebal meskipun dengan susah payah.

Akan tetapi, sepertinya Islam banyak trauma wacana liberalisasi dan bebas tafsir. Dan seakan-akan liberalisasi itu adalah momok yang sangat menakutkan bagi Islam. Situasi genting, dan peceklik, dan kekalahan mental meruntuhkan segala-galanya. Kepanikan ini berimbas pada depresi psykologi masyarakatnya. Maka munculnya kembali gerakan purba yang selalu mengedepankan pedang dan paksaan seperti gerakan mimpi si “Doraemon” mesin waktu. Dan tak ada dialog dengan perasaan sehat. Kecuali pondasi-pondasi teks yang sudah dipatok mati olehnya, klaim kafir, fasik dan munafik. Padahal pelajaran munafik ada pada pelajaran hidup di dunia ini, Bukan pelajaran munafik orang bermuka dua, sisi lain terima yang lama sisi lainya terima segala kemajuan atau klaim kemajuan. Sementara kemajuan adalah hidayah. Tapi pelajaran kejujuran dengan nurani telah hilang sama sekali.  Agama adalah petunjuk yang tak langsung.

Sekarang kita tak bisa membedakan lagi, mana kezaliman yang mana krisis kepercayaan, mental keyakinan, kelaparan, mana orang yang tak bermoral, bertanggung jawab dan apalagi bejat.  Apalagi kalau kita cuma menerima ajaran agama batas manggut-manggut dan latah. Siap-siaplah terima cuci otak untuk berpegang teguh dengan satu teks ayat saja sungguh berlebihan. Dan berkata bantailah orang kafir. Ternyata Islam ada ada juga yang berpikir suku Quraisnya kafir, Dan hanya kaumnyalah yang benar. Coba tilik hikmah Abu Jahal yang mempertahankan kaum Qurais ajaran nenek moyang mendiskreditkan pandangan baru, yang saat itu Islam yang di bawa Rasul masih berstatus sangat baru membawa irama pencerahan.

Apalagi saat anda mengalami masalah pribadi resah, dan tak punya tujuan itulah momentun yang tepat mengisi ruh dan nafsu angkara pemusnahan anda akan bahagia dengan sentimen dendam.  Begitu nikmat terasa, namun begitu hitam terasa dimata karena saat itu memang anda sedang tutup mata artinya tak mau gunakan mata telanjang dan juga mata hati. Anda pasti ingat! Banyak “sempalan” yang latah, intelektualnyapun seakan terjamah. Menekankan hanya satu ayat saja terus menerus dalam ajaran agama kita itu. Padahal bukankah Al Quran di kumpulkan oleh Said Bin Tsabit tak sederhana yang kita bayangkan dan ajaran itu tak punya kesimpulan sama sekali. Dan tak beraturan sama sekali.  Allah akan memberi hidayah kepada kita semua.

Akhirnya menolak sudut pandang yang berbeda. Padahal subtansinya sama, mereka juga menceritakan tentang perbuatan baik sesama mahluk.
Sementara berdasarkan tafsiran beberapa ajaran nabi, sejak jamannya. Banyak ayat pelarangan itu sangat humanis dan manusiawi. Setelah nabi wafat, maka dituntutlah ilmu pengetahuan manusia untuk tak sekedar tahu, menghapal  tentang ajaran, tapi paling penting adalah paham dan rasakan. Serta memiliki kepekaan seperti, kepekaan nabi saat mengajarkan Islam yang dia maksud.

“ Ah, kafir..!”. Mungkin kalimat seperti itu bakal muncul dibenak anda.
Aku diam saja tanpa mengomentari lebih lanjut. Ternyata lama-kelamaan, ada tambahan dalam status ini. Mudah-mudahan perbincangan dan perenungan ini mendapatkan hidayah.

Aku berkata, mari kita pilih hidayah dan menerima keputusan alam semesta. Agar Allah merestui semua jalan untuk orang-orang mau memperoleh cahaya kebenaran.
Soal kaffah atau totalitas dalam Islam, Selalu merujuk kepada kualitas nilai inmaterial, bukan kwantitas material

Saya yakin tuhan tak buta dengan angka-angka seperti satu, dua, tiga dan seterusnya. Jadi tak perlu kita menghitungya berapa kali anda beribadah, dan berapa kali anda shalat. Tapi berapa kali kau mengabdi pada manusia dan sejauh mana alam. Hingga kau makin kagum apa yang dikatakan dalam firman-firman-Nya

Tapi kan dalam Ilmu pengetahuan kesalahan adalah wajib, agar ada keberlanjutan pencarian kesempurnaan. Titik sentral ujung penjelajahan kalam Allah sampai keliang lahad ini bukan sekolah tapi ini adalah ilmu.

Bacalah dengan nama tuhanmu yang menciptakan kamu dari segumpal darah.
Carilah sebanyak-banyaknya, dan gunakanlah secukupnya.

Ilmu itu disediakan oleh Allah diatas bumi yang mereka ciptakan, tak mengenal tempat waktu dan siapa pemiliknya. Bukankah kita perlu belajar sama Yahudi, Kristen, Hindu, Budha. Karena, konon Islam itu pernah dipelajari oleh orang-orang seperti mereka. Dan sekarang telah jadi miliknya.

Saya dididik secara santri sejak dulu, tapi kini aku mulai merasakan ingin loncat. Dan menata secara teratur keyakinanku terhadap agama ini.

Dari 30 Juz, aku merasa begitu rugi, jika saya tak mampu merasakan kalam Allah (Ilmu Allah). Ajaran itu tak sesempit apa yang saya bayangkan, seperti teks 30 Juz itu yang selalu dilafazkan berulang-ulang sewaktu saya remaja, dan guru agama saya mencubit paha saya, gara-gara selalu gagap menghafalnya. Dan banyak rahasia tersembunyi didalamnya. Dan untuk mengenal tuhan lebih dekat kitapun harus memasuki hal-hal yang rahasia, Karena tuhanpun begitu rahasia.

Maka, kenapa Islam melarang mematerilkan tuhan. Karena tuhan bukan angka-angka.
Tuhan maha kreatif, makanya tuhan ciptakan Adam dan mengajarkan kepadanya Ilmu dasar alam. Cukup sampai disitu. Dan Nabi Muhammad meletakkan paham dan   dia  pernah bersabda, kelak ummatku terpecah menjadi 71 golongan, dan cuma satu yang selamat. (Pemegang Sunnah) Saya tak mau lagi terjebak pada persoalan teks siapa itu pemegang Sunnah, karena jaman modern, banyak yang tak jujur.

Ketak jujuran sangat beresiko selaku Islam, selalu kita gadang dan tawarkan. Pernyataan pertama, bahwa Islam itu Universal, namun ketika saya menawarkan sebuah identas  baru dengan bahasa. Kita tolak, dengan  alasan harus ada hidayah Allah yang menentukan. Saya pun tak suka menunggu hidayah. Tuhan bisa marah. Eh, malah tuhan seperti diwakili oleh teman saya.

Allahu wa’lam bissawab…….


NB: Aku berdoa, jika ini benar, maka itu karena karuniamu. Jika itu salah maka itu adalah tugas saya sebagai manusia senantiasa memperbaikinya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar