Foto Dok UKM Seni UMI. Teater Tangan " Kupartai Batu"
Dibawah lampu ternyata kami
bercerita tentang teater. Seni pertunjukan teater di Makassar akhir-akhir ini-pun kurang
bergairah. Sehingga tak ada lagi pertunjukan teater yang benar-benar serius.
Alasan ketak seriusan itu,
pertama karena menurunnya keberanian, lesu dan lemas. Dan sepertinya teater
adalah menjadi sesuatu yang sia-sia untuk dipikirkan bersama. Kedua karena sampai
saat ini tak ada kontribusi atas masyarakat atau penggemarnya. Faktanya, bekerja dalam teater
kurang banyak bisa meraup
untung. Baik secara financial kecuali hanya kepuasan bathin.
Cita-cita tentang idealnya dan indahnya berteater, yah tetap saja terasa nihil dan
tak berkembang jauh menuju proses
kreatifitas dan kemandirianya. Apakah berteater adalah pekerjaan, atau sekedar hoby.
Sepertinya, ini tak perlu di
Jawab..
Menurut saudara Bram, apakah
Teater masih dibutuhkan? Asumsinya, biarkan
teater seharusnya sampai ketitik koma, atau dan betul-betul mati sama sekali.
Sehingga publik menpertanyakan ulang
kembali apa sebenarnya itu teater. Kalau perlu, bertanya siapa yang telah
meninggal beberapa tahun lalu itu?. Artinya jika nanti kita tak mempertanyakan
lagi. Ini berarti benar-benar, bahwa teater tak dibutuhkan.
Itu berarti tunggu bisikan bahwa,
“ KITA BUTUH TEATER”. Maka membiarkan sampai ketitik kosong sama sekali. Walaupun pada dasarnya di kota-kota besar
masih saja ada pertunjukan digelar digedung-gedung pertunjukan. Dan untuk kota
Makassar ini mungkin kita istirahat
dulu, sambil menyaksikan berkembangya pembangunan mental dan fisik kota ini.
Kata Mamat Mariamang, ah sama saja dimana-mana juga kegelisahanya
sama. Disini dan disitu. Dan problem semua komunitas mengatas namakan kelompok
teater tetap sama. Hidup professional, cari duit, dan menghidupi teater.
Kata Mamat Mariaman penggemar teater, dari teater tangan ini.
Walaupun pada dasarnya banyak
yang berpendapat. Bahwa teater itu tak pernah dipikirkan secara professional,
seperti mengelola penonton, mengelola actor, dan me manage secara professional pertunjukan.
Sisi lain, bahwa teater adalah
ritual dan spiritual. Tapi apakah ini betul ada?
Yang terakhir, bekerja di teater
adalah pekerjaan kurang menguntungkan. Tak sama dengan pekerjaan lainya,
seperti bertani, berdagang, atau jadi politikus, dan birokrasi pemerintahan.
Dan mau tak mau, kita harus jujur
mengakui hal itu.
Apalagi ditengah-tengah promosi
besar-besaran produk hiburan lain yang rata-rata berkolaborasi dengan iklan industri
besar. Teater, banyak tak berani atau tanpak malu-malu kucing untuk menyentuh
wilayah itu. Padahal kadang juga sih, ia terkam dengan cara diam-diam.
Santap saja Coy...
Karena alasanya, wilayah itu
sangat mengerikan. Dan akan meracuni Idealisme teater. Atau sebaliknya indutri
mencap bahwa teater itu egois. Makin lama, jurang makin terpisah antara mereka
berdua. Mengusung idealisme, dan mengusung sponsor.
Padahal bagi pekerja teater serius. Semua adalah butuh duit.
Di Makassar ada kurang lebih 40
an kelompok seni kampus yang “berbiji” teater (coba ricek group facebook
Pekerja Seni Kampus (PSK), perkembang biakan ini terjadi kira-kira mulai pada
tahun 2004 menyusul beberapa event yang selalu dihelat dengan garapan memang
alasan teater kalimat ”Kita juga harus berteater” .
Ini terkait soal jumlah komunitas. Namun terkait dengan kualitas dan
keinginan tuk serius. Saya sama sekali tak tahu.
Kenapa generasi terakhir, tak
pernah mau memilih teater sebagai suatu
hal yang menyenangkan. Tak ada yang bisa disalahkan. Sebab semua, mau
tak mau tak ada sama sekali orang mau bekerja dengan sia-sia seperti
mengerjakan teater. Akan tetapi zaman kontemporer ini saya selalu menafsirkan
berdeda. Bahwa semua sah-sah saja, tak ada yang tak dibolehkan berpikir tentang
teater, dan tak berpikir teater. Entah itu sudut pandang positif atau negative.
Karena kedua-duanya punya alasan.
Apalagi honor teater mau
dijadikan sebagai sumber penghasilan tetap. Mana mungkin bisa hidup kaya dengan
teater. Disusul, tak ada alternative gerakan terbaru buat teater. Seperti apa
yang dialami kelompok teater profesional yang ada di Kota Besar Jakarta. Akan tetapi diluar dugaan apa yang
dilakukan Nano Riantiarno, dengan bukti “ KOMA” eksis dengan jalan hidup teater
dan mampu menghidupi kelompok
teaternya.
Keraguan seperti ini sebenarnya,
mirip apa yang terjadi pada tahun 1970-1980 an di Kota besar Jakarta . Ketika
Nano hanya menghabiskan uang dengan teater. Kemudian WS Rendra dengan “BENGKEL RENDRA”.
Dan memilih cara berpikir berkebun sambil main teater.