Perbincangan ini sebenarnya saya
mengawali dengan beberapa perenungan cuplikan saya bersama beberapa pernyataan
teman-teman saya dikampus dulu salah satunya saudara Mursalim. Sesering mungkin ia mengatakan tentang
konsep sufistik mendengar rupa melihat suara atau sebaliknya melihat suara
mendengar rupa. Namun kesimpulan saya saat ini. Tetap menyatakan bahwa
kebenaran atas kalimat itu ada dibalik pernyataan bagi pemilik kata-kata ini.
Setiapkali aku menanyakan ulang tetap saja tak memuaskanku atas jawabanya. Bahkan aku selalu berkata dalam hati pernyataan itu tak masuk akal sekali, hanyalah rangkaian kata-kata yang membingungkan. Sebab mana mungkin bisa mendengarkan rupa dan mana mungkin bisa melihat suara.
Suara itu berbentuk apa. Dan rupa
itu bersuara apa?
Kembali lagi salah seorang teman saya bernama A. Ikhdar (Cupus) dari Sanggar Al Farabi Bulukumba rencana akan melakukan pertujukan seni dengan dengan tema “melihat bunyi” dan meminta saya untuk membuat prolog tentanng pertujukan seni mereka. Lewat cerita cerita biasa chatting on line. Dan saya juga mengatakan bahwa saya kurang tahu bagaimana membuat sebuah prolog hanya menggunakan kata-kata namun kata-kata itu hanya pemiliknya yang tahu pernyataan itu. Maka kubuatlah pernyataan ini, namun aku tetap kurang yakin bahwa apa maksudnya pernyataan ini maka kutuis seperti ini:
Memandang ke-dalam suara dan
mendengar ke-dalam warna. Masukkanlah kejiwamu juga jiwaku. Seperti melihatku
pada cermin juga cermin dirimu, dan diriku.
Dendangmu pada air sungai ini.
Juga pada laut yang akan kau datangi akan menyambutmu. Muara selalu mengajak
kita bicara, dimana engkau membawa tawarnya darat juga rasa asinnya laut.
Cerita inipun dimulai oleh orang-orang sebelum aku.
Ketika hujan turun, ia merembes
pada pucuk daun. Juga turun melewati ranting dan dahan. Dan air itu bekerja
pada akar-akar dalam tanah.
Disana ada warna yang berbunyi,
juga disana ada suara yang berwarna.
Lihatlah “suaranya” bergerak, dan
“dengarlah” warnanya berbunyi.
Merah, hitam, kuning, putih telah
menjelma jadi kristal-kristal dihalaman belakang.
Huruf-huruf lontar bercerita
bentuk masa lalu.
Namun hampir kita membuangnya
jauh-jauh karena mesin waktu tak pernah istirahat.
Aku mencarinya pada angin, juga
mencarimu pada kobaran api, juga mencarinya dalam kubangan tanah, juga pada
pusaran air.
Ah,
Menjelmalah Aku…
Tanpa mata, kau akan
mendengarnya. Tanpa telinga kau akan melihatnya..
“Mendengar bunyi melihat warna”
Kau akan merasakan jejaknya berlari
berkejaran dalam sukma.
Alhasil bahwa perenungan ini tetaplah tak memberi jawaban
yang memuaskan. Akan tetapi dengan upaya seperti ini ibarat sebuah jembatan
untuk mencoba lebih jauh, atau bahkan mencoba lebih dekat.
(Makassar, 23 Sepetember 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar