Selasa, 23 Oktober 2012

Melihat Suara Mendengar Rupa



Perbincangan ini sebenarnya saya mengawali dengan beberapa perenungan cuplikan saya bersama beberapa pernyataan teman-teman saya dikampus dulu salah satunya saudara Mursalim. Sesering mungkin ia mengatakan tentang konsep sufistik mendengar rupa melihat suara atau sebaliknya melihat suara mendengar rupa. Namun kesimpulan saya saat ini. Tetap menyatakan bahwa kebenaran atas kalimat itu ada dibalik pernyataan bagi pemilik kata-kata ini.

Setiapkali aku menanyakan ulang tetap saja tak memuaskanku atas jawabanya. Bahkan aku selalu berkata dalam hati pernyataan itu tak masuk akal sekali, hanyalah rangkaian kata-kata yang membingungkan. Sebab mana mungkin bisa mendengarkan rupa dan mana mungkin bisa melihat suara.
Suara itu berbentuk apa. Dan rupa itu bersuara apa?

Kembali lagi salah seorang teman saya bernama A. Ikhdar (Cupus) dari Sanggar Al Farabi Bulukumba rencana akan melakukan pertujukan seni dengan dengan tema “melihat bunyi” dan meminta saya untuk membuat prolog tentanng pertujukan seni mereka. Lewat cerita cerita biasa chatting on line. Dan saya juga mengatakan bahwa saya kurang tahu bagaimana membuat sebuah prolog hanya menggunakan kata-kata namun kata-kata itu hanya pemiliknya yang tahu pernyataan itu. Maka kubuatlah pernyataan ini, namun aku tetap kurang yakin bahwa apa maksudnya pernyataan ini maka kutuis seperti ini:

Memandang ke-dalam suara dan mendengar ke-dalam warna. Masukkanlah kejiwamu juga jiwaku. Seperti melihatku pada cermin juga cermin dirimu, dan diriku.
Dendangmu pada air sungai ini. Juga pada laut yang akan kau datangi akan menyambutmu. Muara selalu mengajak kita bicara, dimana engkau membawa tawarnya darat juga rasa asinnya laut. Cerita inipun dimulai oleh orang-orang sebelum aku.
Ketika hujan turun, ia merembes pada pucuk daun. Juga turun melewati ranting dan dahan. Dan air itu bekerja pada akar-akar dalam tanah.
Disana ada warna yang berbunyi, juga disana ada suara yang berwarna.
Lihatlah “suaranya” bergerak, dan “dengarlah” warnanya berbunyi.
Merah, hitam, kuning, putih telah menjelma jadi kristal-kristal dihalaman belakang.
Huruf-huruf lontar bercerita bentuk masa lalu.
Namun hampir kita membuangnya jauh-jauh karena mesin waktu tak pernah istirahat.
Aku mencarinya pada angin, juga mencarimu pada kobaran api, juga mencarinya dalam kubangan tanah, juga pada pusaran air.
Ah,
Menjelmalah Aku…
Tanpa mata, kau akan mendengarnya. Tanpa telinga kau akan melihatnya..
“Mendengar bunyi melihat warna”
Kau akan merasakan jejaknya berlari berkejaran dalam sukma.

Alhasil bahwa perenungan ini tetaplah tak memberi jawaban yang memuaskan. Akan tetapi dengan upaya seperti ini ibarat sebuah jembatan untuk mencoba lebih jauh, atau bahkan mencoba lebih dekat.

(Makassar, 23 Sepetember 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar