Artikel

Tanpa Diskriminasi Pengetahuan Lokal Sendiri, Kita Bisa Bergaul Di Era Global. Selama Terbuka Untuk Di Cek and Ricek...

oleh Subhan Makkuaseng (Catatan) pada 3 November 2010 pukul 0:40
Di- Harian kompas beberapa waktu lalu salah seorang pengamat  gempa dan gelombang tsunami dari Jepang aku lupa namnay siapa bagaimana menyikapi si-gempa dan tsunami. Begitu penasarnya saya ingin mengetahui  komentar  sambunganya dihalaman berikutnya 5-6. Sambil bertanya-tanya dalam hati,  se-spektakuler apa sih negara jepang yang tergolong berkelas negara moderen bagaimana solusi mengatasi gempa tsunami. Dengan pakar2 nya, ternyata saya begitu merasa kecewa. Ternyata apa yang disampaikan pakar negri matahari terbit lewat koran ini. Menyatakan jika tanah sudah bergoyang, dan kemudian air laut surut secara drastis, jangan buru2  mengincar ikan-ikan mengelepar dipantai. Segeralah berlari sekencang-kencangnya mencari dataran tinggi. Jika anda kebetulan sementara berada ditengah laut dengan perahu lajukanlah segera perahumu lebih ketengah laut dalam  agar tak terbawa arus gelombang besar menghepas kepantai..

Saya  mengutip .www. lenteratimur" diasuh Tengku Dhani Iqbal  masuk dikotak pesan.“Engel mon sao surito. Inang maso semon manoknop sao fano. Unen ne alek linon, fesang bakat ne mali. Manoknop sao hampung tibo-tibo maawi. Ede smong kahane, turiang da nenekta. Miredem teher ere fesan nafi-nafi da. Smong dumek-dumek mo. Linon uwak-uwakmo. Elaik keudang-keudang mo. Kilek suluh-suluhmu. Angalinon ne mali olek suruk sauli. Maheya mihawali fano me tenggi…”

Ini semacam pesan dan nyanyian pengatar tidur anak kecil. Pesanya yang saya kutip, nasihatnya seperti  ini. Smong (tsunami) air mandimu. Gempa ayunanmu. Petir gendang-gendangmu. Halilintar lampumu. Jika datang gempa kuat disusul air yang surut, segeralah cari tempat dataran tinggi agar selamat…)

Nyanyian ini ketika mereka hendak menidurkan anaknya, makan, atau tengah berkumpul bersama keluarga maupun tetangga. Lirik yang berisikan nasihat mengalir begitu saja. Tidak ada ketentuan atau panduan dalam keseragaman menuturkan kata per katanya. Hingga kini, kisah smong masih mencengkeram kuat benak anak-anak Pulau Simeulue, salah satu kabupaten termuda di Aceh.

Di Sul-sel ini jadi teringat penghobi naik gunung, kenal sebutan "Tata" panggilan kepada orang tua yang mendiami lereng  lereng "Lembanna" akan menuju Bawakaraeng dan Tata banyak memberi isyarat kondisi cuaca buruk atau waktu baiknya untuk bisa naik.Dan biasanya anak-anak gunung bertanya padanya. Bukan tak sama dengan juru kunci "Mbah Marijan" karena sekaligus tugas keraton.

Tetapi pengetahuan mereka itu adalah berdasarkan pengalaman selama dia berada disana, tanpa sengaja dia akan menjelaskan seperti kemiripan pengetahuan pakar gempa dan tzunami Jepang tadi.  Dalam hati saya dan pikran saya ternyata, seperti " tata"  juga pakar seperti orang jepang itu" karena hidupnya juga dilereng gunung mengetahui cuaca buruk dan baik. Dan memberi pesan2 kita bisa melihat berbagai sudat pandang. Namun secara pengalaman dia mendiami tempat itu dia juga banyak memberi arti bahasa kearifan-kearifan itu. Tata tak pernah bergelar pakar secara ilmu pengetahuan moderen.

Di Sulsel, kita belum banyak mengorek   lietratur sperti tzunami, gempa dan letusan gunung.  Tak sama dengan Krakatau, Merapi Jogya memang punya sejarah tersendiri. Namun beberapa kearifan lokal yang masih biasa kita dengar tentang alam, ataupun lama-lama sudah menghilang. Padahal itu bisa juga memberi keterangan pengetahun tambahan diatas dunia ilmu pengatahuan moderen jauh kita percayai, yang kadang juga butuh di evaluasi karena sikon...

Walaupun sepenuhnya tak dipercaya secara mutlak akan tetapi sebagai manusia yang hidup dan terus berkebang, segalanya tetap perlu diberi pengertian, dari masa lalu singkrong dengan saat ini dan juga untuk kedepan...

1 komentar: