Rabu, 27 Februari 2013

Kampanye Budaya “Bugis Makassar” Dari Spiritual ke Culture








 “Kelembutan sang fajar membelai sukma yang membeku. Gemulai riak gelombang setubuhi makna ilahi. Tunrung Bali’sumange membelah titik nutfah. Dalam sulbi sang fakir.”


(Minggu pagi 24 Pebruari 2013)



Bekerja Dengan Pengalaman


Seperti tak punya aturan khusus tentang bagaimana cara mengerjakannya. Masing-masing dari kami punya sudut pandang terhadap tujuan kampanye ini. Namun ada tiga titik sentral yang menurut saya sangat subtansi tak terelakkan dari beberapa pertemuan sebelumnya.

Sebab menurut A. Apti Aspriandi,  pertama adalah perjalanan spiritual, dan yang kedua adalah kultur. Lalu kemudian dalam penamaan suku etnik Bugis Makassar di Jazirah Celebes. 

Aksi seremonial Kampanye Kebudayaan Bugis Makassar berlangsung di Anjungan Pantai Losari Minggu pagi 24 Pebruari 2013. Kami  sebar brosur. menawarkan produk hiburan aksi pertunjukan, gendang acara pengantin,  menerima pesanan pembuatan gendang oleh Hasan Daeng Ramma. Jual sonkok pamiring atau songkok guru (songkok yang terbuat dari serat pelepah lontar). Lalu maggiri, dan aksi tabuhan gendang bali sumange, pencak silat dan pepe-pepe.  

Kontak Person A. Asdar : (087840851989)-(082344481982)


Kami berharap keunikan ini berbuah sesuatu menjadi mahal segi nilai. Yang pasaran seharusnya menjadi murah. Sisi ekonomis ini adalah klasik karena ia adalah menggali sisa miniature peradaban jazirah ini, bukan pula tujuan memurnikan. Akan tetapi memungut satu-persatu serpihan-serpihan itu. Yang langka menjadi mahal karena butuh penghargaan khusus, dan pemeliharaan.



Dari Mantra Bumi, Spiritual Ke Culture


Hasan Daeng Ramma dengan Andi Apti Aspriandi menjadi kolaborasi yang tepat atas sebuah ekplorasi penjejakan nilai itu.

“Kelembutan sang fajar membelai sukma yang membeku. Gemulai riak gelombang setubuhi makna ilahi. Tunrung Bali’sumange membelah titik nutfah. Dalam sulbi sang fakir.”



Untuk menyatakan baku “tau dan baku dapa”. Tak ada  ruang dan waktu kita bicarakan disini.  Sehingga berpuncak pada yang mana akar yang mana batang, yang mana dahan yang mana ranting.

Tikamkan diri dalam keakuan satu dalam kea AKU an” ini pernyataan ringkasnya dalam puisinya terakhir.

Dan dibenak bahwa hanya ada pohon tumbuh di belakang rumah kita ditanam oleh para pendahulu.

Membicarakan kebudayaan sebenarnya cakupanya sangat luas namun membicarakan Bugis Makassar adalah ruang lingkup prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang melekat dimasa lalu dan sebagian masih terasa.






Kendala-kendala besar mengajak orang berkostum tradisinal.


Pertanyaan saya saat itu bersama Rombo, bahwa apakah semua orang dibolehkan untuk memakai kostum adat seperti itu.




Hemat kami yang mana kita pilih, bergeser atau hilang sama sekali. Ataukah perlu kita membicarakanya lagi. Ini sudah pasti kita akan baku hadap-hadapan dengan para orang tua yang sangat mensakralkan kostum tersebut dari dulu.

Karena ada aturan bahwa ini yang boleh dipakai dan ini yang tak boleh dipakai berdasarkan kasta masing-masing orang di masa lalu. Seperti Songko pamiring, atau Songkok Guru (songkok adat terbuat dari anyaman serat pelepah pohon lontar), misalkan. Hanya seorang dari keturunan Arung atau Karaeng yang pantas memakainya.

Dari segi motif dan garis-garis pada sisi teratas songkok tersebut menunjukan derajat kalangan apa dan siapa yang bisa memakainya.

Saya belum mendapat literature yang memadai soal simbol ini. Akan tetapi saya pribadi membutuhkan transpormasi nilai kearifannya untuk melakukan hal yang lain kemudian hari. Karena status kemuliaan pada diri Bugis Makassar ada pada perilaku dan sikap yang tegas pada nilai siri na pacce. Setelah ia menjadi hukum kata-kata.

Begitupun halnya dari Passapu yang dipakai oleh orang jaman dulu kala, dari segala jenis warna memberi penanda pada sebuah posisi tertentu pada seseorang.

Akan tetapi batas-batas senioritas dalam sebuah tradisi masalalu masih melekat. Hal ini dituturkan oleh orang tua kita dari masa-kemasa. Namun sangat disayangkan kalau kelak tuturan kita,  tak lagi kita ketemui  di kemudian hari gara-gara banyak pertimbangan.

Saya juga berharap yang berkompeten dalam hal ini, memberikan jawaban yang lugas terbuka dan bijaksana.

Akhirnya kita membayangkan lagi sebuah negara, seperti telah dilakukan negara Jepang,  yang pada dasarnya tiap tahunnya sebuah festival tradisional Jepang, sehingga semua anak-anak muda mengunakan kostum ala Jepang mulai dari kimono dan seterusnya.


Perlukah  Jalan Pintas


Sisi lain ada benarnya, presiden pertama kita Soekarno pernah berkata bahwa saya memilih songkok nasional sebagai simbol bahwa Soekrano tak dimiliki oleh etnik tertentu, karena ia hanya dimiliki oleh Indonesia dalam bingkai nasionalis bukan milik tanah kelahiranya, Jawa dan Bali.

Masa yang tepat. Ketika pula-pulau ini membutuhkan pembebasan dari pengaruh koloni belanda. Juga sekaligus menyatukan persepsi bahwa karena ternyata penjajah juga sudah mencaplok kerajaan-kerajaan dan juga telah melakukan sekutu-sekutu dengan yang lain, mengakibatkan beberapa kerajaan jadi alat untuk memperkuat kedudukan mereka.

Nasionalisme kita akhirnya digairahkan pada sebuah gagasan baru. Akan tetapi sisi lain lalu kita kemudian menghilang dari perjalanan yang sesungguhnya dalam sejarah itu.  

Faktanya juga bahwa kita banyak mengeyam begitu banyak ilmu pengetahuan namun kita lupa kearipan local kita sebagai gaya potensi dan kekayaan kita positif untuk dikelola. 

Sebenarnya juga kita tak perlu sungkam, sebab beberapa negara juga mengalami kemajuan tanpa meninggalkan gaya khas kebudayaan lokalnya.

Saya pribadi penulis sendiri mestinya dimana saya pernah lahir dengan segala pohon-pohon tumbuhan yang tumbuh disekelilinya. Seperti halnya ketika aku tak mau kehilangan rumah saya, halaman rumah saya berlarian, juga saling tabrakan antara nilai yang baru tiba itu, dengan apa yang saya anut.



Antara Kostum Adat dan Siri’ na Pacce.







Akan tetapi bagaimana agar nilai-nilai masa lalu itu bekerja dengan diri kita masing-masing. Kita butuhkan spiritnya.

Karena saya peribadi merasa yakin bahwa sisa masa lalu itu kita pernah berdaya. Bukankah siri’ na pace adalah sebuah prinsip yang luar biasa bagi masyarakat jazirah ini. Siri na pacce’ sebenarnya tak ada hubungannya dengan kostum adat. Akan tetapi dengan penanda kostum adat, orang akan dikenal bahwa ia orang Sulawesi- Selatan yang mengenal prinsip Siri’ Na Pacce.

Budaya khas masalalu yang kita maksudkan boleh dilirik dengan beragam sudut pandang. Secara simbolik, atau nilai yang melekat padanya boleh, secara ekonomis juga boleh. Sikap-sikap dan prinsip prinsip juga boleh setelah banyak belajar dari pengalaman-pengalaman orang tua kita tentang istilah “Pemali”, atau “Paseng-paseng” lainya.



Aspek Finansial


Andi Asdar yang berasal dari pengalaman manajerial event organizer sekaligus sebenarnya merasa terinspirasi untuk mengelolanya secara professional, dan mempromosikanya. Makanya dengan adanya peristiwa kampanye budaya yang ada di Anjungan Pantai Losari sabtu 24/ Pebruari 2013 lalu adalah langkah pertama dengan upaya promosi sekaligus sebar brosur. Dan menurutnya dengan hal seperti ini adalah sesuatu hal yang baru. “ jika itu dilakukan dengan intens orang-orang akan menghubungi kita dikemudian hari”, ungkap Andi Asdar. Ini sisi finansial hiburan seremonial seni pertunjukannya.

Seni hiburanya masih jarang orang lirik, padahal ini sangat unik. Digunakan rata-rata berkaitan dengan bagian sebuah peristiwa adat tertentu. Seperti acara pelantikan raja dimasa lalu. Hingga sekarang tersisa dilakukan pada acara ritual perkawinan. Dan yang lebih formal adalah menyambut tamu-tamu yang datang ke daerah Sulawesi-selatan.  Atau mendapat tugas dari Dinas Pariwisata untuk meloloskan agenda program kerjanya promosi kesenian daerah.

Seperti Ibu Rukmana dari Maros menyaksikan hal ini berkata ia memang berasal dari keluarga daerah ini. Setelah ia berada di Bandung bersama suaminya begitu sangat merindukan khazanah Bugis Makassar.


.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar