Kamis, 28 Maret 2013

Kaffah


Soliloqui : Kaffah

Status teman saya di situs jaringan social facebook mengatakan seperti ini. Islam itu agama universal, dan masuklah kedalam Islam secara kaffah (total). Status ini berpengertian bahwa Islam memiliki kekuatan, bahwa Islamlah yang memiliki kebenaran sempurna

Kategori universal adalah berlaku umum. Dan lainnya adalah, seruan perintah untuk masuk kedalam ajaran itu secara kaffah. Penyerahan diri mengikuti perintah totalitas, bukan berarti dari sebuah terjemahan yang dibuat oleh manusia atau diterjemahkan manusia. Kalau memang kaffah adalah firman yang sakral yang dimiliki langsung oleh tuhan.  

Ber da’wah. Dan dibalik keinginan seperti itu sebenarnya identik dengan keinginan dirinya tentang orang lain. Keinginan itu puncaknya, terjemahan tentang dirinya atas sebuah teks teks ayat. Islam juga mengalami gejala positivisme pembakuan diri, lalu jika memberi batas tertentu dengan sebuah pernyataan manusia.

“Saya diutus oleh Allah untuk melengkapi, ajaran-ajaran sebelumnya”, kata Ralulullah S.(Liutammima akhlaqul karimah). Ahlaq dalam Islam tak selamanya diartikan adalah moralitas, akan tetapi ia selalu berkaitan dengan perbuatan dan tata cara berhidup di dunia yang benar tampa pertumpahan darah, sebagaimana yang di khawatirkan malaikat ketika Allah hendak menciptakan manusia. Lantas setelah meninggalnya Rasulullah beberapa waktu kemudian dilanjutkan saripati ajaran itu oleh keempat sahabatnya, Abu Bakar, Usman, Ali dan Umar.

Ekspansi penyebaran Islam selalu berlatar belakang da’wah seruan masuk kedalam ajaran keputusan seperti ini. Kita bisa bayangkan pasca wafatnya Rasulullah masyarakat ketika mengalami krisis kepercayaan dan panutan karena begitu besar pengkultusan masayarakat Islam terhadap Rasulullah. Khilafah turun temurun, sejarah tak ada yang bisa membantah peristiwa karbala akibat pertarungan kekuasaan antara Muawiah dan keturunan Ali Bin Abu Thalib (baca konflik sunni dan syiah). Adalah konflik internal kelimpahan tanggung jawab dan kerakusan kekuasaan. Dan tak bisa dipungkiri, sangat kurang menyenangkan.

Dan sampai saat status da’wah dan berada di jalan pion-pion itu. Ditambah lagi perang salib meninggalkan sejarah yang juga hampir sama ketika pertemuan Islam agama kekuatan kekuasaan percampuran misi agama juga berhadapan misi salib dengan kekuatan kekuasaan roma juga sama. Dan maksud saya bukan sunni apa yang dipercayai kita pada mashab-mashab syar’i.

Konflik internal Islam itu sendiri atau kalau tak mau disebut, selalu diawali konflik interpretasi. Dan sementara kalau kita berkonflik dengan sesama agama samawi juga hampir sama sejarahnya adalah perang misi. Yang paling mengerikan sebenarnya jika klaim kafir, klain kemurtadan masih selalu melekat pada diri Islam itu sendiri akan merusak dirinya sendiri. Sepertinya ini selalu jadi pemicu, karena kata-kata itu juga telah dipatok mati. Fasik, Syirik, dan Munafik akan memojokkan diri meninggalkan sentiment yang kurang manusiawi dikemudian hari.  

Coba kita juga mengingat sejarah kita, kala ditanah air tercinta Indonesia ini, Islam begitu besar andilnya mengusir penjajah di negri ini. Dengan prinsip jihad, namun perlu diketahui prinsip jihad pada dasarnya tak selalu identik dengan kesadaran. Namun juga memerdekakan kemanusiaan kita secara masuk akal. Akan tetapi prinsip hampir seirama dengan melawan kebatilan. Melawan yang bukan Islam seperti tradisi dendam perang salib, dan kebetulan saja orang eropa rata-rata bukan Islam saat itu. Jadi bisa dititipkan bahwa kita sedang berhadapan dengan penjajah kafir. Ini warisan sejarah perang pertemuan sejarah timur dan eropa.

Kita lihat lagi beberapa aliran, dan cara pandang Islam beragam di Indonesia juga seperti memiliki moment tersendiri selalu siap meledak. Padahal rata-rata adalah ajaran nenek moyang, yang kurang lebih tak bisa memerdekakan atau mempluralkan.

Sentimen fasik atau syirik dan munafik bagi agama yang telah mendapatkan legitimasi kekuasaan menyalahkan minoritas, atau sudut pandang berbeda. Akhirnya masyarakat kita dijebak masuk kedalam system yang tak masuk akal dengan alasan ajaran agama. Prinsip ajaran agama rata-rata adalah soal konsistensi, ujian dan keimanan.
Rasululullah pernah bersabda perang paling dahsyat yang pernah dialaminya selain perang badar yaitu melawan hawa nafsu. Artinya juga ummat akan mengalami hal yang sama yaitu perang dengan hawa nafsu.

Menpercayai teks yang mati, dibarengi oleh nafsu, seperti seolah-olah jihad bagi jaman ini. Aku percaya itu, karena saya alami sendiri, ketika saya disebut-sebut kafir karena berani “nyeletuk” seenaknya menyatakan bahwa teks itu telah hilang karena sebagian telah melebur dalam tafsir diri masing-masing manusia.

Coba bayangkan intelektual Islam, yang memang hanya mempelajari Islam saja sejak sekolah lama hingga gaya baru. Selalu bermimpi mengembalikan kejayaan masa lalu seperti pernah terjadi di Kejayaan Cordova. Ah, mana ada justru itu adalah suatu penurunan kualitas untuk zaman ini. Siapapun juga tak ada orang mau kembali kemasa lalu.

Meskipun peristiwa itu begitu indah, apalagi itu sama sekali melanggar kodrat alam yang di ciptakan oleh Allah sendiri. Seperti mimpi anak kecil si “Doraemon” mesin waktu. Katanya kita lupa berangkat dari Al Qur’an. Dan memang sekarang banyak hafal Al-Quran, tapi tidak banyak dimengerti itu apa. Ada juga sudah mengerti, teryata bukan malah mengerti tapi jutru dia hafal pengertian orang-orang dulu yang pernah menafsirkanya sama sekali. Artinya kan sama saja. Disini tak ada hafal hidup, tapi justru hafal mati. Setelah dihafal yah, mati sudah dan sangat dingin.

Al-Qur'an, Kalamullah yang azali. Tak habis air laut untuk menuliskan nama-namanya. Dan nama ada pengidentitasan terhadap segala sesuatu.

Coba nonton film The Book of Elli sambil melepas beban kefanatikan ajaran yang kurang mendewasakan kita. Ketika sang tokoh pemeran utama dalam film ini memberikan kitab itu kepada lawanya yang selalu memburunya setiap saat gara-gara mencari kita suci injil (Kristen). Dan bagaimanapun dia membuka kitab itu tapi itu tak bisa dimengerti oleh pikiran yang bebal meskipun dengan susah payah.

Akan tetapi, sepertinya Islam banyak trauma wacana liberalisasi dan bebas tafsir. Dan seakan-akan liberalisasi itu adalah momok yang sangat menakutkan bagi Islam. Situasi genting, dan peceklik, dan kekalahan mental meruntuhkan segala-galanya. Kepanikan ini berimbas pada depresi psykologi masyarakatnya. Maka munculnya kembali gerakan purba yang selalu mengedepankan pedang dan paksaan seperti gerakan mimpi si “Doraemon” mesin waktu. Dan tak ada dialog dengan perasaan sehat. Kecuali pondasi-pondasi teks yang sudah dipatok mati olehnya, klaim kafir, fasik dan munafik. Padahal pelajaran munafik ada pada pelajaran hidup di dunia ini, Bukan pelajaran munafik orang bermuka dua, sisi lain terima yang lama sisi lainya terima segala kemajuan atau klaim kemajuan. Sementara kemajuan adalah hidayah. Tapi pelajaran kejujuran dengan nurani telah hilang sama sekali.  Agama adalah petunjuk yang tak langsung.

Sekarang kita tak bisa membedakan lagi, mana kezaliman yang mana krisis kepercayaan, mental keyakinan, kelaparan, mana orang yang tak bermoral, bertanggung jawab dan apalagi bejat.  Apalagi kalau kita cuma menerima ajaran agama batas manggut-manggut dan latah. Siap-siaplah terima cuci otak untuk berpegang teguh dengan satu teks ayat saja sungguh berlebihan. Dan berkata bantailah orang kafir. Ternyata Islam ada ada juga yang berpikir suku Quraisnya kafir, Dan hanya kaumnyalah yang benar. Coba tilik hikmah Abu Jahal yang mempertahankan kaum Qurais ajaran nenek moyang mendiskreditkan pandangan baru, yang saat itu Islam yang di bawa Rasul masih berstatus sangat baru membawa irama pencerahan.

Apalagi saat anda mengalami masalah pribadi resah, dan tak punya tujuan itulah momentun yang tepat mengisi ruh dan nafsu angkara pemusnahan anda akan bahagia dengan sentimen dendam.  Begitu nikmat terasa, namun begitu hitam terasa dimata karena saat itu memang anda sedang tutup mata artinya tak mau gunakan mata telanjang dan juga mata hati. Anda pasti ingat! Banyak “sempalan” yang latah, intelektualnyapun seakan terjamah. Menekankan hanya satu ayat saja terus menerus dalam ajaran agama kita itu. Padahal bukankah Al Quran di kumpulkan oleh Said Bin Tsabit tak sederhana yang kita bayangkan dan ajaran itu tak punya kesimpulan sama sekali. Dan tak beraturan sama sekali.  Allah akan memberi hidayah kepada kita semua.

Akhirnya menolak sudut pandang yang berbeda. Padahal subtansinya sama, mereka juga menceritakan tentang perbuatan baik sesama mahluk.
Sementara berdasarkan tafsiran beberapa ajaran nabi, sejak jamannya. Banyak ayat pelarangan itu sangat humanis dan manusiawi. Setelah nabi wafat, maka dituntutlah ilmu pengetahuan manusia untuk tak sekedar tahu, menghapal  tentang ajaran, tapi paling penting adalah paham dan rasakan. Serta memiliki kepekaan seperti, kepekaan nabi saat mengajarkan Islam yang dia maksud.

“ Ah, kafir..!”. Mungkin kalimat seperti itu bakal muncul dibenak anda.
Aku diam saja tanpa mengomentari lebih lanjut. Ternyata lama-kelamaan, ada tambahan dalam status ini. Mudah-mudahan perbincangan dan perenungan ini mendapatkan hidayah.

Aku berkata, mari kita pilih hidayah dan menerima keputusan alam semesta. Agar Allah merestui semua jalan untuk orang-orang mau memperoleh cahaya kebenaran.
Soal kaffah atau totalitas dalam Islam, Selalu merujuk kepada kualitas nilai inmaterial, bukan kwantitas material

Saya yakin tuhan tak buta dengan angka-angka seperti satu, dua, tiga dan seterusnya. Jadi tak perlu kita menghitungya berapa kali anda beribadah, dan berapa kali anda shalat. Tapi berapa kali kau mengabdi pada manusia dan sejauh mana alam. Hingga kau makin kagum apa yang dikatakan dalam firman-firman-Nya

Tapi kan dalam Ilmu pengetahuan kesalahan adalah wajib, agar ada keberlanjutan pencarian kesempurnaan. Titik sentral ujung penjelajahan kalam Allah sampai keliang lahad ini bukan sekolah tapi ini adalah ilmu.

Bacalah dengan nama tuhanmu yang menciptakan kamu dari segumpal darah.
Carilah sebanyak-banyaknya, dan gunakanlah secukupnya.

Ilmu itu disediakan oleh Allah diatas bumi yang mereka ciptakan, tak mengenal tempat waktu dan siapa pemiliknya. Bukankah kita perlu belajar sama Yahudi, Kristen, Hindu, Budha. Karena, konon Islam itu pernah dipelajari oleh orang-orang seperti mereka. Dan sekarang telah jadi miliknya.

Saya dididik secara santri sejak dulu, tapi kini aku mulai merasakan ingin loncat. Dan menata secara teratur keyakinanku terhadap agama ini.

Dari 30 Juz, aku merasa begitu rugi, jika saya tak mampu merasakan kalam Allah (Ilmu Allah). Ajaran itu tak sesempit apa yang saya bayangkan, seperti teks 30 Juz itu yang selalu dilafazkan berulang-ulang sewaktu saya remaja, dan guru agama saya mencubit paha saya, gara-gara selalu gagap menghafalnya. Dan banyak rahasia tersembunyi didalamnya. Dan untuk mengenal tuhan lebih dekat kitapun harus memasuki hal-hal yang rahasia, Karena tuhanpun begitu rahasia.

Maka, kenapa Islam melarang mematerilkan tuhan. Karena tuhan bukan angka-angka.
Tuhan maha kreatif, makanya tuhan ciptakan Adam dan mengajarkan kepadanya Ilmu dasar alam. Cukup sampai disitu. Dan Nabi Muhammad meletakkan paham dan   dia  pernah bersabda, kelak ummatku terpecah menjadi 71 golongan, dan cuma satu yang selamat. (Pemegang Sunnah) Saya tak mau lagi terjebak pada persoalan teks siapa itu pemegang Sunnah, karena jaman modern, banyak yang tak jujur.

Ketak jujuran sangat beresiko selaku Islam, selalu kita gadang dan tawarkan. Pernyataan pertama, bahwa Islam itu Universal, namun ketika saya menawarkan sebuah identas  baru dengan bahasa. Kita tolak, dengan  alasan harus ada hidayah Allah yang menentukan. Saya pun tak suka menunggu hidayah. Tuhan bisa marah. Eh, malah tuhan seperti diwakili oleh teman saya.

Allahu wa’lam bissawab…….


NB: Aku berdoa, jika ini benar, maka itu karena karuniamu. Jika itu salah maka itu adalah tugas saya sebagai manusia senantiasa memperbaikinya..

Rabu, 27 Maret 2013

Bahasa Tak Jadi Soal, Tapi Saya Orang Bonerate Kan?


Bahasa Tak Jadi Soal, Tapi Saya Orang Bonerate Kan?

Lewat gerak gerik bibir dan senyumanyapun saya bisa mengerti,  akhirnya saya merasa diterima dengan ramah. Bahasa asli mereka adalah Selayar dan Buton. Karena konon memang  katanya mereka rata-rata adalah orang Buton. Bentuk fisik tak ada yang beda Indonesia tengah dan timur.

Selain warga Negara Indoenesia anda termasuk suku apa. Ia nampak bingung untuk menjawabnya. Suku apa yah?, katanya. Anda orang Bonerate, kataku singkat, sedikit bergurau. Lalu ia membalasnya, yah..sepertinya begitu, katanya.

Mereka orang asli pulau Bonerate, adalah kampung tanah kelahiran mereka. Bonerate berasal dari dua suku kata “Bone” dan “Rate”. Artinya pasir diatas. Sejarahnya penduduknya keturunan Buton. Bahkan kata salah seorang kepala dusun mereka bernama Asmoyan, bernenek moyangnya justru orang Madura.  Namun pulau ini secara administrative “berdistrik” wilayah Kabupaten Selayar Provinsi Sulawesi-selatan.

Penduduk pulau ini sebenarnya masyarakatnya kombinasi. Dari Buton, Nusa Tenggara Barat, Bugis dan Makassar. Mereka sudah lama mendiami pulau ini. Apalagi, saya termasuk saya saja adalah suku Madura, “ Kata Asmoyan kepala dusun mereka.

Dan tak ada penjelasan lain, kenapa nenek moyang mereka dulu ada disana dan melahirkan mereka. Saya tak melanjutkan pertanyaan sejarah suku. Karena sekedar basa basi untuk mengakrabkan diri dengan masyarakat sana.

Pulau ini berada bagian timur pulau Selayar. Jarak tempuh dari kota Selayar, 24 jam dengan perahu kayu penumpang ukuran 7x20 meter. Dan kalau dari kota Makassar kurang lebih 24 jam jalur darat dulu menuju Tanjung Bira, kemudian menyeberang kapal penyebrangan feri menuju Pulau selayar. Kemudian esok hari dermaga kecil, Benteng Selayar beberapa kapal kayu menuggu disana untuk mengangkut orang-orang akan ke pulau-pulau lainya dekat Selayar, termasukpula yaitu Bonerate tujuan saya. Menurut kabar, Selayar memang mengwilayahi kurang lebih 38 pulau kecil lainnya. Dan diperkirakan kira-kira sisa 7 pulau yang tak berpenghuni. Paling dikenal adalah Jampea dan Takabonerate.

“ Sebenarnya yang sulit disini adalah kapal penyeberangan. Dan transpotasi laut cepat” Kata kepala desa Bonerate, Dawami mengadu kepadaku.  

Dari nama pulau, sekaligus nama kampung Bonerate adalah desa Induk, pusat kecamatan Pasimarannu Kabupaten Selayar. Desa ini beberapa tahun lalu dipecah menjadi tiga desa salah satunya Majapahit dan Bonea. Bahkan beberapa desa lainya. Penduduk tercatat kurang lebih ribuan warga, bekerja di kebun menanam jagung dan kedelai. Selain itu ada juga bekerja membuat kapal, dan berdagang. Selain  kebiasaan melaut lainya hanya memancing ikan.

Jadi teringat, saat tiba dipulau ini kemarin sore.  Terlihat warga dan anak-anak kecil berlarian menyambut kapal yang bersandar disana. Aku memandangi kebawah laut bibir dermaga, bukan main begitu indah. Saya merasa begitu menikmati pemandangan beningnya air.  Terlihat jelas ikan-ikan warna warni seperti dalam aquarium fauna laut yang sering saya nonton di TV dipulau ini. Dan karangnya masih alami.

Kami merasa yakin akan baik-baik saja, apalagi tujuan kami juga baik. Sebelumnya kesana. Ada orang mengingatkan saya agar menghindari bahasa yang tak disenangi warga. Padahal dia sendiri belum pernah kesana. Termasuk menyebut ikan terbang dengan bahasa Makassar tak boleh. Karena pengertian orang sana tentang ikan terbang. Sangat tabu dan tak sopan. Sebab itu menunjukkan kepada kelamin perempuan. Tapi saya tak sempat menanyakan itu disana.

Kami berdua tiba sore hari. Saya menelpon kepala desa, yang kebetulan kepala desanya masih di kota Selayar. Lewat pembicaraan kami Ia menyuruh saya menginap rumah jabatan kecamatan. Kami disuruh menginap saja disana. Namun penghargaan atas nama penjaga rumah jabatan ini cukup bagus merespon kedatangan kami.

Dihalaman rumah jabatan ini, mataku tertuju pada sebuah koleksi meriam. Dan sebuah mesjid tua disana. Saya membayangkan kampung ini punya sejarah sendiri dimasa lalu.
Teman saya menginap di rumah kepala desa Majapahit tujuan mereka. Saya menginap di rumah Jabatan kecamatan saja.  

Mengawali tujuan kami, sore hari saya mengelilingi kampung ini. 

Dengan jalan kaki saja seperti terasa sudah mengelilingi pusat kecamatan ini. Tak begitu luas tapi rumah wargalah yang padat, namun penataan rumah kampung ini sangat teratur. Jalur jalanan kampung ini sangat tertib. Karena tak ada roda empat disana berkeliaran. Saya membayangkan seandainya mau dijadikan sebagai percontohan kampung pesisir disanalah tempatnya. Seperti sebuah kota indah tradisional yang terisolasi gara-gara laut. Hampir semua bisa bahasa Indonesia, selain menggunakan bahasa pulau mereka sendiri.

Awalnya cuma satu dusun lama-kelamaan dimekarkan menjadi dua sampai tiga dusun. Jumlah penduduk diperkirakan kurang lebih ribuan. Awalnya Cuma satu desa akhirnya harus dibelah lagi beberapa desa lagi.



Tanah Ini Lalu Kami Pinjam

Aku menuju pinggir pantai dan disana dekat pasar, disana ada  kedai kopi. Menu sara’ba juga ikan bakar. Semilir angin kian terasa bersama aroma laut yang asin menghilangkan lelah sejenak. Dan warna kulitnya coklat kehitaman tegap pemilik warung. Dan depan kedai hilir mudik gadis pulau ini lincah dengan sepeda motor sore hari mengelilingi kampung mutar-mutar jadi pemandangan menarik.
Desa Bonerate, dari 6 dusun. Yaitu Eroihu Barat, Eroihu Timur, Waikumba, Lamantu’u, Tunggua dan Miantu’u. Kurang lebih 700 kepala keluarga. Malam tiba, saya menginap salah satu penginapan kantor kecamatan.   

Terakhir, dengan kendaraan roda dua plat merah milik kepala desa, saya masuk salah satu dusun terpencil desa ini. Bernama dusun Miantu’u. Jalanan menuju kesana melewati area kebun warga, keluar dari pusat desa jaraknya kurang lebih 2 kilometer. Jalur setapak pada dataran sedikit tinggi pebukitan tertutup pasir putih sepanjang jalan. Pada ujung setapak ini, terlihat jalanan menurun dan terlihatlah dusun Miantu’u yang dikelilingi pohon kelapa tepat pesisir pantai.

Kepala dusunya bernama panggilan Salim (40 tahun). Ia sangat menyambut baik kedatangan saya. Karena  ia begitu mengenal motor yang aku kendarai, motor pak kepala desa. Iapun mengajak saya naik kerumahnya. Dari rumah panggung kecil berdinding belahan bambu dan kayu. Berselang beberapa menit kemudian  istrinya keluar menyuguhkan kopi hangat dan biskuit gabin.

Pak Salim bercerita tentang riwayat dusun yang satu ini. Menurut kabar, tanah dusun ini  bukan berstatus milik asli warga. Akan tetapi tanah pinjaman salah seorang pengusaha di Bonerate. Makanya banyak rata-rata warga kurang serius membangun rumah mereka seperti layaknya rumah hunian yang sehat. Sang pemilik tanah tak mau menjual kepada warga. Ia hanya menjadikan status tanah pinjaman. Dan kapan-kapan saja bisa diambil kembali. Aku merasa miris mendengarnya. Sebab mana mungkin sebuah dusun yang sudah dihuni warga 50 kepala keluarga beberapa tahun lamanya. Statusya masih bukan hak milik penuh. Informasi ini hanya menggugah perasaan saya. Tak bisa saya bayangkan, bagaimana jika kelak pemilik tanah berubah pikiran, dan akan mengambil tanah ini. Pastinya kemana 50 orang kepala keluarga ini beserta anak-anaknya. 

Apakah alam semesta ini menyediakannya. Dan daerah perkampungan kemunkinan besar masih banyak alternative. Tak sama dengan kota besar. Tapi jelasnya warga dusun ini tetap memikirkan soal itu.

Pak Salim, makin serius berpikir akan kemajuan pendidikan anak sekitar dusun ini. Ia mengangumi salah seorang guru perempuan pernah datang disana yang ia kagumi rela berjuang untuk mengajar membaca anak-anak dibawah rumah dan mesjid kecil sepuluh tahun lamanya. Namun berkat kemauan guru ini, hingga tahun 2004 pemerintah mendirikan gedung sekolah dasar hingga sekarang anak-anak dusun ini bisa belajar disana.


Masa Muda Melaut Masa Tua Bawa Cerita 

Esok hari, Kamis saya melanjutkan perjalanan kedaerah berikutnya. Yaitu Desa Bonea, tetap wilayah kabupaten Selayar Sulawesi-selatan. disana saya disambut kepala dusun Onetimur dan Onemelangka. Keduanya adalah mantan navigasi laut dengan perahu kayu dan layar. 

Berdasarkan pengalaman muda mereka. Ia pernah menjelajahi hampir seluruh kepulauan Indonesia hanya berbekal perahu layar. Pertama mengenal pulau Batam lewat kepulauan Riau Sumatera sampai Singapura. Dan arah utara kepulauan Pilipina. Tahun 1970 an. Bahkan arah timur sempat terdampar dipulau Maluku utara sampai Papua. Dan pernah ditahan Polisi Australia karena memasuki perairanya tanpa sengaja. Sebab untuk area timur dari arah Selayar akan bertemu dengan kepulauan Plores dan Timor-Timor (sekarang Negara Timor Leste), dan dekat dengan perbatasan Australia. 

Tetua kampung ini memang dulunya adalah perantau dengan menggunakan kapal layar angin.
Karena itulah resiko sebuah pulau yang menghubungkan antara laut dan darat. Tak ada alternative lain kecuali mengarungi lautnya. Selang satu atau dua hari kapal baru kapal datang lagi bersandar dekat pulau atau dermaga.

Pekerjaan penelitian, survey quesioner begitu modern diikat oleh target ketepatan waktu kalau bisa selesai 3 hari. Makanya kenapa saya gelisah.
Namun dia terlihat biasa-biasa saja. Kalau bukan hari ini yah, besok. Karena kita tak punya cara menjelajahi laut kecuali dengan prinsip kesabaran. Mempelajari kondisi cuaca yang tepat untuk berlayar. Sambil menunggu kapal penumpang tiba dukampung mereka.

Hasan Tak Takut Ombak


Hasan, tak takut ombak

Angin yang berubah-ubah dan riak air laut selalu jadi kitab untuk menjalankan pekerjaannya sebagai pekerja jasa transportasi laut. Tulang rusuknya menyembul dari badannya kecil dan tegap tapi bertenaga. Ia mengambil keputusan untuk berangkat segera. Dengan doa dan harapan tak ada masalah dalam perjalanan.  Akan tiba esok hari dengan selamat dipulau yang dituju.

Hasan (40 tahun) si pemilik kapal kayu pulau Selayar ini sepertinya punya perhitungan dan cara sendiri dengan menghadapi situasi ombak saat ini. Semua orang tahu kalau Bulan 7-9 perairan Selayar, katanya ombak bisa menggulung perahu kecil yang lewat.

Seperti Hasan, kata warga setempat. Soal ombak tinggi, itu biasa. Karena ia sudah begitu berpengalaman. Perjalanan rute laut utamanya, Bonerate dan Kalotoa, pulau yang dikenal terluar dari Kabupaten Selayar. Jarak tempuh kurang lebih satu hari satu malam, jika cuaca buruk. Namun jika cuaca normal bisa sampai 13 jam dari dermaga Benteng, kota Selayar.

Pengalaman Hasan menahkodai kapal transportasi manusia dan barang antar pulau-pulau sekeliling Selayar kurang lebih puluhan tahun. Dan gerakan ombak dilaut yang dilihatnya setiap hari adalah petunjuk tentang kedaan cuaca. Kadangkala tak membawa kompas, mereka berlayar hanya melihat bintang malam hari.  “Mereka mengenal jenis-jenis pulau-pulau ,” kata Ihsan. Warga Bonerate.

Memang Hasan sangat dikenal pengemudi perahu angkut penumpang dan barang paling berani dipulau ini. Dia menahkodai perahu kayu ukuran panjang kira-kira  lebar 7 meter dan panjang 20 meter. Dengan empat kekuatan mesin dan tubuhnya selalu waspada dengan kondisi cuaca laut.
Betul, bulan 7-9 paling rawan ombak tinggi terasa di sekitar perairan Selayar.
Hasan berangkat pukul 09.00 pagi, padahal satu hari sebelumnya dilarang berangkat. Gara-gara kelebihan muatan penumpang.

Pukul 16.00 sore hari, ia berhenti dan anak buahnya menjatuhkan jangkar kelaut dekat pulau bernama Appatana. Sebuah pulau ditempati pemilik perahu istirahat, sekaligus menghindari ombak laut tengah . Tak berani melanjutkan perjalanan malam hari dengan kondisi cuaca buruk. Ada dua kapal kayu terparkir dekat pulau ini. Kami pun bermalam diatas kapal. Besok pagi kapal kembali melanjutkan perjalanan. Memotong jalur diatara dua pulau lainnya melewati arus air laut yang berbahaya.

Jantungku berdebar, namun aku juga merasa penasaran menunggu kabar orang-orang pulau tentang ombak besar. Kapal terayun keras dipermukaan air, aku mulai diam. Aku menyembunyikan kepanikan dalam diriki.
Sesekali aku bertanya lagi sama penumpang.

“ Pak, kata orang ombak bulan ini besar-besar yah?”
“ Bulan ini adalah musimnya nak” Jawabnya santai tak terliahat panik.

Dalam hati saya mengambil patokan, bahwa dibalik raut wajahnya mereka tak terlihat risau, itu menandakan kondisi seperti itu masih wajar-wajar saja bagi mereka. Barangkali karena saya orang baru mengenal laut dengan kepal perahu kayu, dan ketinggian ombak seperti itu membuatku begitu panik. Yang kuinginkan adalah jawaban yang bisa membuatku bisa tenang.

Akhirnya perasaanku pelan-pelan juga mulai ikut tenang.

Bunyi Bebas Nilai


UrbanEgss “Mengeram”, Bunyi bebas nilai.

Subhan Makkuaseng,

Ruangan berukuran 5x5 persegi blok D Nomor 7 perumahan Bumi Permata Hijau (BPH) Tala, Salapang Kota Makassar. Beberapa kendaran roda dua terparkir. Dan didalam rumah  terlihat  kurang lebih sepuluh orang pemain musik rata-rata anak muda.
Sekumpulan anak muda Makassar, Sul-sel dan Indonesia ini adalah pemain musik,  namun cara bermusik mereka sedikit beda dengan kelompok musik band masnyarakat konsumtif kita pada umumnya. Bahkan warna musiknya  tak sepopuler  seperti  musisi artis layar kaca, akan tetapi ada sikap bermusik dia miliki membuatnya menjadi jadi kaya eksperimen nada, unik dan berwarna.
Menurut kacamata pribadi saya mereka mengedepankan harmonisasi nada-nada instrument. Selingan vokal sangat minim  sampai ditelinga. Kelompok musik inilah akan menginspirasi tema  terbarunya “bunyi bebas nilai”.  Beberapa alat musik yang dipakai salah satunya gendang Makassar “ganrang”, Sinrilik, flute, Violin, Banjo, Cukulele dan alat  musik elektrik lainya.
Saat mendengarkanya, dibenak saya ini warna musik apa. Selanjutnya susunan nada-nadanya ringan, (saya pakai istilah sendiri saja) bisa jadi meng-etnik nasional, meng-Jazz nasional, meng-orkestra nasional bahkan meng- musik- meng-universal dengan paradigma global kita. Dari beberapa alat musik tradisional dalam negri, seperti ganrang Makassar ibarat mendapatkan tugas untuk berevolusi secara kasat mata dengan bunyi alat musik  lainya menjelaskan identitasnya.  Dan kemudian diayun-ayun dengan iringan flute terbentuklah nada-nada yang bersahaja, meriak tapi santun.

Itulah “Urban Eggs” ia “mengeram”  menginspirasi proses kerja bermusiknya disalah satu rumah Bumi Permata Hijau (BPH) Tala’ Salapang yang mereka tempati latihan beberapa waktu lalu.  Persiapan ini untuk tampilan terbarunya yang akan dilangsungkan pada 28-Oktober 2010 di Sociated de Harmony pekan depan, dengan tema “ Bunyi bebas nilai”.

Karya Urban Eggs ini belum lazim di Makassar, namun untuk kalangan masyarakat  pecinta  musik diluar daerah kita ini  sudah banyak penikmatnya” Termasuk seperti di Solo Jawa-Tengah, Jogyakarta garapan-garapan musik pertujukan seperti ini banyak pilihan. Dan banyak tempat bisa kita saksikan disana,” ujar Aristofani Fahmi sapaan akrab  Itto pengarasemen gagasan ini. Ia ungkapkan pengalamannya selama mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo.
Memang patut diakui  di kota ini,  “menginspirasi” hal-hal seperti  ini  belum begitu memberi titik harapan angin segar, apalagi beberapa elemen diharapkan bisa membantu belum menyakini itu. Semua orang tahu proses garapan music seperti ini bukan dikerjakan dalam satu minggu saja, akan tetapi kadang berbulan-bulan “pengeraman”, karena butuh ide pikiran dan perasaan untuk melakukan berbagai penyesuian-penyesuaian. Sebab penyesuaian demi penyesuaian itu akhirnya membentuk sikap-sikap dari karya-karya mereka, yang lainya  secara teknis termasuk menyesuikan para pemain2 nya. Dan diluar teknis garapan juga sangat butuh manajer yang konsentrasi. Itulah wahana kreatifitas.

Untuk persiapan kali ini, menurut kabar Urban Eggs sempat mendatangi beberapa intansi untuk meminta dukungan, termasuk Dinas Pariwisata, Dinas Pemuda Dan Olah Raga (Dispora) namun tak ada respon meyakinkan mereka. Malahan Instansi seperti ini saling menujuk siapa yang layak untuk sponsor. “ Termasuk di Kesbang Pemvrop, diminta sebagai kelompok musik yang terdaftar dan bernomor induk, sementara di Dispora Provinsi, mereka bilang dana seperti itu ada pada Dinas Pariwisata, “ ungkap Itto menirukan saat aundiens. Sementara  untuk sponsor produk, rata-rata belum antusias melakukan kerja sama dengan ide-ide seperti ini. Alasanya sponsor produk banyak memilih pasar band-musik festival “ Yah, sudahlah kita tak usah berharap banyak, kita jalan sajalah” kata  Itto singkat dan meyakinkan.
( Catatan saya: Para prinsipinya secara cultural, pikiran dan nilai-nilai kita belum banyak mewarnai)
Selain itu kata alumni Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo Jawa Tengah ini,  tema bebas nilai sempat jadi beban, karena beberapa tokoh budayawan Sul-sel secara filosofi  menyebutnya tak ada sesuatu yang bebas nilai. Semua pasti terukur dan bisa dinilai.  Bagi Itto, ini bisa dinikmati , tidak  terlalu  jauh bicara soal  subtansi  tentang pengertian tema, tapi ingin  membuat sesuatu sedikit bombastis dengan tema itu. Dalam artian, semua orang bebas bisa member arti dengan menggunakan kacamata apapun. Karena rencana akhir penampilan nanti akan membuka apresiasi dan ruang diskusi agar ada wacana. Dengan menghadirkan budayawan Sul-sel.
Sedikit catatan, beberapa tahun yang lalu kelompok musik Urban Eggs ini dari awal pertunjukan perdananya mereka beri tema,“ Mainminemind”, kalau tidak salah pada tahun 2009 Gedung Kesenian Makassar Suciateid De Harmonie dan  beberapa bulan kemudian dilanjutkan perhelatanya keliling di kampus-kampus untuk Mahasiswa Kota Makassar, sekaligus gelar workshop metode bermusik yang gampang bagi kalangan mahasiswa.
Yang menarik,kelompok ini  mereka sangat antusias memperkenalkan dirinya dengan cara berjaringan, seperti halnya jaringan pertemanan lainya yang mau memberi support dukungan moril dan materil gagasanya. “ Kami jaringan saja dengan orang-orang yang mau membantu” paparnya.


24- Oktober 2010.
“Catatan: Tulisan ini sama sekali saya tak ingin menumpang sebuah nama, akan tetapi saya juga belajar mengutip dan menulis”
(Subhan Makkuaseng)




Mengenal Cita Rasa Perbedaan



Ishaq Ngeljaratan : Mengenal Cita Rasa Perbedaan
 In Memoriam Gusdur di Makassar.
 
Subhan Makkuaseng, SH

Menyandingkan enam keyakinan agama dalam satu panggung sambil berdoa atas peringatan wafatnya guru pluraliseme Indonesia , Gusdur menggugah rasa  keberagaman keyakinan beragama di Indonesia termasuk di Makassar.  Di kota angin mamiri ini  masing-masing perwakilan tokoh agama seperti dari  Kristen, Islam, Katolik, Hindu dan Budha dan juga ternyata Kong Hucu  juga hadir, berdoa atas meninggalnya Almarhum Gusdur (KH Abdurrahman Wahid) tahun ini diselenggarakan Lembaga Bantuan Hukum Pemberdayaan Perempuan Indonesia (LBHP2i)  Makassar,  Sabtu (8/1) 2011 Gedung RRI Makassar. Acara ini dihadiri  sejumlah pelajar,  mahasiswa, tokoh masyarakat  dan budayawan kota ini.

Pukul  19.00 Wita malam hari, setelah lagu-lagu shalawat nabi dan kilasan sejarah mendiang Gusdur sebagai bapak bangsa terlihat para tokoh agama  yang diundang ini berjejer  dipanggung dan masing-masing berdoa  bergantian  untuk  mendiang Gusdur sebagai bapak pejuang pluralisme Indonesia.  

Menurut budayawan Sulsel, Ishaq Ngejlaratan dalam orasi pluralismenya  menyatakan Gusdur mengambil perbedaan keyakinan agama untuk sebagai pondasi membangun bangsa. Dan banyak orang mencederai agama dengan alasan perbedaan. Padahal Gusdur adalah termasuk pahlawan  kemajemukan menghargai perbedaan sebagai kekuatan bangsa.

Secara filosofi, kata Ishaq,   mulanya tuhan maha sendiri sepi dengan kesendiriannya. Maka menciptakan sesuatu hal yang baru. Dan keunikanya ciptaannya ini  adalah khas, maka tak bisa dihindari secara anatomi dari beragamnya manusia itu saling ber fungsi dan bergantung dengan khasanah keunikan masing-masing. Agar tuhan tak kesepian dengan keunikan itu.
“ Perbedaan itu seperti  sari rasa buah-buahan yang masing masing berbeda rasanya. Dan tiap rasa menimbulkan rasa haru dan indah, “ kata Ishaq.

Di Sul-sel  seperti di Tana Toraja orang  Allu nenek moyang Toraja mengenal yang namanya Pasopateno. Artinya  tuhan menciptakan bumi dan langit  berbeda tapi saling membutuhkan. Sifat ini lahir pada manusia Toraja, memelihara dan menjagannya adalah salah satu kodrat. Kalau istilah suku  Mandar salah satu suku yang dulunya juga kawasan Sulawesi Selatan mengenal istilah  kelahiran “Malabi”, kemudian kembali ke “Malabi” dari yang terpisah kembali bersatu.
Selain itu  paling inti juga dari acara  mengenang Gusdur ini adalah merajut benang merah dengan doa, kepelbagaian serta demokrasi.

Tampilan berikutnya dalam gedung terdengar  lagu paduan suara yang digabung dari beberapa pelajar  dan perguruan tinggi seperti dari Universitas Muhammadiah Makassar, Komunitas Kanal Barat Universitas Katolik Atmajaya. STMIK Dipanegara, Sekolah Menengah Kejuruan  Katolik Cendrawasih,   Sekolah Tinggi  Theologi  Indoensia Timur. Lagu-lagu yang dikumandangkan  diantaranya judul Cinta rasul, Rembulan menangis, harapan gemilang ilahi (1973),  Yesus of superstar dan cinta Magdalena. Selain itu  dua orang dari mahasiswa Universitas Muslim Indonesia Makassar membacakan  karya puisi murid terdekat Gusdur, Adji Massardi dengan judul, 
Tafakkur Buat Gusdur dan selanjutnya puisi ananda putri  Inayah anak almarhum KH Abdurrahman Wahid berjudul “Pak Tolong  Ajari Aku”. Akhirnya  acara peringatan In memorian Gusdur ini seperti akrab dalam satu pertunjukan yang utuh.

( Makassar, Sabtu  (8/1) 2011)

Selasa, 19 Maret 2013

Panggalo: Aduh, Jalanan Rusak Parah


Perjalanan kali ini saya menuju desa Panggalo.(Minggu 10-15 Maret 2013).
Desa Panggalo di jaga oleh sebuah gunung bernama Gunung Pada-pada. Desa ini berjarak kurang lebih 17 kilo meter dari jalan poros Majene dan Mamuju. Sementara jarak  dari Ibukota Provinsi Sulawesi Barat kekampung itu kurang lebih 108 Kilometer. 

Sarana jalan menuju kampung tersebut rusak cukup parah. Jika kita menuju kesana menggunakan kendaraan roda dua saja begitu sulit. Jikapun ada yang bisa melewatinya memerlukan keahlian khusus. Istilah warga, melewati jalan tersebut harus cekatan memainkan perseneling gigi satu pada kendaraan roda dua. 

Selain tanjakan cukup tajam, dan juga penurunan cukup curam, jalanan patah-patah. Kita juga melewati dua sungai yang kadang banjir. Begitu juga ada jembatan gantung berayun-ayun. Kalau orang baru kesana sangat sulit untuk melewatinya, kecuali jika itu menjadi tantangan tersendiri buat mereka. Apalagi jika musim hujan tiba warga saja tak berani melewatinya, sebab pasti jalanan menjadi licin. Kecuali dengan cara jalan kaki dengan jarak tempuh sampai kurang lebih sekitar 6 jam sampai ke jalan poros. 



Dengan sewa ojek lalu akhirnya saya tiba pukul 17.00 sore hari. (Minggu/10/2/2013). 

Kampung tersebut dikawal oleh gunung Padapada dengan ketinggian kurang lebih 9000 meter dari permukaan laut. Bahasa penduduk asli menggunakan bahasa Pannei, atau juga bahasa Mandar.

Meski dikatakan kampung tersebut bertanah subur hasil kebun cengkeh, kakao, dan kopi bisa tumbuh, namun semua itu sulit untuk dijual menuju kota gara-gara akses jalan menuju kampung yang begitu sulit. Selain itu warga juga menanam padi lading untuk komsumsi sehari hari mereka sebagai makanan pokok. Pengolahan padi lading tersebut menjadi beras masih menggunakan cara tradisional dengan menumbuk di lesung kayu.

“ Sebenarnya masalah paling mendesak warga disini adalah soal sarana jalan menuju kampung yang rusak parah. Sehingga akses untuk jual hasil kebun sangat sulit”, ujar Puddin kepala desa mereka ketika saya tiba dirumahnya.

Konon nama desa Panggalo berasal dari nama tanaman pohon obat.  Selain itu kabar lain dari warga setempat, bahwa desa ini dikekenal memiliki peliharaan ayam yang unik. Katanya jenis ayam tersebut berbeda dengan jenis ayam kampung lainya. Jenis ayam Panggalo memiliki fisik tinggi dibandingkan dengan ayam-ayam kampung  lainnya. Sehingga banyak orang senang memesan ayam Panggalo buat peliharaan saja. Meski dengan harga yang cukup mahal, sampai Rp.400.000 ribu hingga Rp. 500.000.

Desa ini disepakati oleh empat dusun untuk menjadi desa pada tahun 2010. Yaitu, Panggalo, Kolehalang, Tasambulang, dan Udung Lemo. Karena desa ini pecahan dari salah satu desa di ke kecamatan Ulumanda ini.


Dua kali panen, lima tahun baru kembali lagi

Gaya kebiasaan petani padi adalah berladang pindah. Dengan padi ladang mereka tanam dilereng-lereng pegunungan.  Alasan berladang pindah, karena tanah yang habis ditanami padi sampai dua kali panen tak subur lagi.Sementara untuk membuatnya kembali subur membutuhkan waktu hingga 5 tahun secara alami. Setelah tanah  tersebut kembali ditumbuhi semak belukar.


Prinsip Hidup Warga Panggalo Beradat Hidup

“Mesakada nipatuho, pantang kada nipomate”,.

Mereka sangat akrab dengan petuah ini, dan orang-orang tua dulu mereka sangat berusaha untuk hidup petuah tersebut.

Kurang lebih artinya satu kata dihidupi, banyak kata dibawa mati. Konon katanya warga kampung ini mempercayai tetua adat mereka. Meski belakangan sudah mulai pudar.

Apapun yang diputuskan oleh adat itulah jadi keputusan bersama. Mereka menilai orang-orang pesisir, sangat senang dengan adat mati. Sementara kampung tersebut berpantang dengan adat mati. Ia memilih, adat hidup. Istilah mereka.

Jika seorang warga melakukan tumpah darah, atau pembunuhan. Seseorang harus membayarnya dengan memotong  kerbau untuk diberi makan pada orang banyak atau untuk adat.  Atau disebut sebagai denda adat.

(Catatan perjalanan saya ini untuk saya catat pribadi. Dalam kegiatan survey evaluasi kualitas demokrasi, dan evaluasi kebijakan public. Oleh Celebes Research Centre (CRC)).