Soliloqui : Kaffah
Status teman saya di situs
jaringan social facebook mengatakan seperti ini. Islam itu agama universal, dan
masuklah kedalam Islam secara kaffah (total). Status ini berpengertian bahwa
Islam memiliki kekuatan, bahwa Islamlah yang memiliki kebenaran sempurna.
Kategori universal
adalah berlaku umum. Dan lainnya adalah, seruan perintah untuk masuk kedalam
ajaran itu secara kaffah. Penyerahan diri mengikuti perintah totalitas, bukan
berarti dari sebuah
terjemahan yang dibuat oleh manusia atau diterjemahkan manusia. Kalau memang
kaffah adalah firman yang sakral yang dimiliki langsung oleh tuhan.
Ber
da’wah. Dan dibalik keinginan
seperti
itu sebenarnya
identik dengan keinginan dirinya tentang orang lain. Keinginan itu puncaknya, terjemahan tentang dirinya atas
sebuah teks teks ayat. Islam juga mengalami gejala positivisme pembakuan diri, lalu jika memberi batas tertentu dengan sebuah pernyataan
manusia.
“Saya diutus oleh Allah
untuk melengkapi, ajaran-ajaran sebelumnya”, kata Ralulullah S.(Liutammima akhlaqul
karimah). Ahlaq dalam Islam tak selamanya diartikan adalah moralitas, akan
tetapi ia selalu berkaitan dengan perbuatan dan tata cara berhidup di dunia
yang benar tampa pertumpahan darah, sebagaimana yang di khawatirkan malaikat
ketika Allah hendak menciptakan manusia. Lantas setelah meninggalnya Rasulullah
beberapa waktu kemudian dilanjutkan saripati ajaran itu oleh keempat
sahabatnya, Abu Bakar, Usman, Ali dan Umar.
Ekspansi penyebaran
Islam selalu berlatar belakang da’wah seruan masuk kedalam ajaran keputusan seperti ini. Kita bisa
bayangkan pasca wafatnya Rasulullah masyarakat ketika mengalami krisis
kepercayaan dan panutan karena begitu besar pengkultusan masayarakat Islam terhadap
Rasulullah. Khilafah turun temurun, sejarah tak ada yang bisa membantah
peristiwa karbala akibat pertarungan kekuasaan antara Muawiah dan keturunan Ali
Bin Abu Thalib (baca konflik sunni dan syiah). Adalah konflik internal
kelimpahan tanggung jawab dan kerakusan kekuasaan. Dan tak bisa dipungkiri, sangat kurang menyenangkan.
Dan sampai saat status
da’wah dan berada di jalan pion-pion itu. Ditambah lagi perang salib
meninggalkan sejarah yang juga hampir sama ketika pertemuan Islam agama
kekuatan kekuasaan percampuran misi agama juga berhadapan misi salib dengan
kekuatan kekuasaan roma juga sama. Dan maksud saya bukan sunni apa yang
dipercayai kita pada mashab-mashab syar’i.
Konflik
internal Islam itu sendiri atau kalau tak mau disebut, selalu diawali konflik interpretasi.
Dan sementara kalau kita berkonflik dengan sesama agama samawi juga hampir sama
sejarahnya adalah perang misi.
Yang paling mengerikan sebenarnya jika klaim kafir, klain kemurtadan masih
selalu melekat pada diri Islam itu sendiri akan merusak dirinya sendiri.
Sepertinya ini selalu jadi pemicu, karena kata-kata itu juga telah dipatok
mati. Fasik, Syirik, dan Munafik akan memojokkan diri meninggalkan sentiment
yang kurang manusiawi dikemudian hari.
Coba kita juga
mengingat sejarah kita, kala ditanah air tercinta Indonesia ini, Islam begitu
besar andilnya mengusir penjajah di negri ini. Dengan prinsip jihad, namun
perlu diketahui prinsip jihad pada dasarnya tak selalu identik dengan kesadaran.
Namun juga memerdekakan kemanusiaan kita secara masuk akal. Akan tetapi prinsip
hampir seirama dengan melawan kebatilan. Melawan yang bukan Islam seperti
tradisi dendam perang salib, dan kebetulan saja orang eropa rata-rata bukan
Islam saat itu. Jadi bisa dititipkan bahwa kita sedang berhadapan dengan penjajah
kafir. Ini warisan sejarah perang pertemuan sejarah timur dan eropa.
Kita lihat lagi
beberapa aliran, dan cara pandang Islam beragam di Indonesia juga seperti
memiliki moment tersendiri selalu siap meledak. Padahal rata-rata adalah ajaran nenek moyang, yang
kurang lebih tak bisa memerdekakan atau mempluralkan.
Sentimen fasik atau
syirik dan munafik bagi agama yang telah mendapatkan legitimasi kekuasaan
menyalahkan minoritas, atau sudut pandang berbeda. Akhirnya masyarakat kita
dijebak masuk kedalam system yang tak masuk akal dengan alasan ajaran agama. Prinsip ajaran agama
rata-rata adalah soal konsistensi, ujian dan keimanan.
Rasululullah pernah
bersabda perang paling dahsyat yang pernah dialaminya selain perang badar yaitu
melawan hawa nafsu. Artinya juga ummat akan mengalami hal yang sama yaitu
perang dengan hawa nafsu.
Menpercayai teks yang mati, dibarengi oleh nafsu, seperti seolah-olah jihad
bagi jaman ini. Aku percaya itu, karena saya alami sendiri, ketika saya
disebut-sebut kafir karena berani “nyeletuk” seenaknya menyatakan bahwa teks
itu telah hilang karena sebagian telah melebur dalam tafsir diri masing-masing
manusia.
Coba bayangkan intelektual
Islam, yang memang hanya mempelajari
Islam saja sejak sekolah lama hingga gaya baru. Selalu bermimpi mengembalikan kejayaan
masa lalu seperti pernah terjadi di Kejayaan Cordova. Ah, mana ada justru itu
adalah suatu penurunan kualitas untuk zaman ini. Siapapun juga tak ada orang
mau kembali kemasa lalu.
Meskipun peristiwa itu
begitu indah, apalagi itu sama sekali melanggar kodrat alam yang di ciptakan
oleh Allah sendiri. Seperti mimpi anak kecil si “Doraemon” mesin waktu. Katanya
kita lupa berangkat dari Al Qur’an. Dan memang sekarang banyak hafal Al-Quran,
tapi tidak banyak dimengerti itu apa. Ada juga sudah mengerti, teryata bukan
malah mengerti tapi jutru dia hafal pengertian orang-orang dulu yang pernah
menafsirkanya sama sekali. Artinya kan sama saja. Disini tak ada hafal hidup,
tapi justru hafal mati. Setelah dihafal yah, mati sudah dan sangat dingin.
Al-Qur'an, Kalamullah yang azali. Tak habis air laut untuk menuliskan
nama-namanya. Dan nama ada pengidentitasan terhadap segala sesuatu.
Coba nonton film The Book
of Elli sambil melepas beban kefanatikan ajaran yang kurang mendewasakan kita.
Ketika sang tokoh pemeran utama dalam film ini memberikan kitab itu kepada
lawanya yang selalu memburunya setiap saat gara-gara mencari kita suci injil
(Kristen). Dan bagaimanapun dia membuka kitab itu tapi itu tak bisa dimengerti
oleh pikiran yang bebal meskipun dengan susah payah.
Akan tetapi, sepertinya
Islam banyak trauma wacana liberalisasi dan bebas tafsir. Dan seakan-akan
liberalisasi itu adalah momok yang sangat menakutkan bagi Islam. Situasi
genting, dan peceklik, dan kekalahan mental meruntuhkan segala-galanya.
Kepanikan ini berimbas pada depresi psykologi masyarakatnya. Maka munculnya
kembali gerakan purba yang selalu mengedepankan pedang dan paksaan seperti
gerakan mimpi si “Doraemon” mesin waktu. Dan tak ada dialog dengan perasaan sehat. Kecuali pondasi-pondasi
teks yang sudah dipatok mati olehnya, klaim kafir, fasik dan munafik. Padahal
pelajaran munafik ada pada pelajaran hidup di dunia ini, Bukan pelajaran
munafik orang bermuka dua, sisi lain terima yang lama sisi lainya terima segala
kemajuan atau klaim kemajuan.
Sementara kemajuan adalah hidayah. Tapi pelajaran kejujuran dengan
nurani telah hilang sama sekali. Agama adalah petunjuk yang tak langsung.
Sekarang kita tak bisa
membedakan lagi, mana kezaliman yang mana krisis kepercayaan, mental keyakinan, kelaparan, mana orang
yang tak bermoral, bertanggung
jawab dan apalagi bejat.
Apalagi kalau kita cuma menerima ajaran agama batas manggut-manggut dan
latah. Siap-siaplah terima
cuci otak untuk berpegang teguh dengan satu teks ayat saja sungguh berlebihan.
Dan berkata bantailah orang kafir. Ternyata Islam ada ada juga yang berpikir suku Quraisnya kafir, Dan hanya
kaumnyalah yang benar. Coba tilik hikmah Abu Jahal yang mempertahankan kaum
Qurais ajaran nenek moyang mendiskreditkan pandangan baru, yang saat itu Islam
yang di bawa Rasul masih berstatus sangat baru membawa irama pencerahan.
Apalagi saat anda
mengalami masalah pribadi resah, dan tak punya tujuan itulah momentun yang
tepat mengisi ruh dan nafsu angkara pemusnahan anda akan bahagia dengan
sentimen dendam. Begitu nikmat terasa,
namun begitu hitam terasa dimata karena saat itu memang anda sedang tutup mata
artinya tak mau gunakan mata telanjang dan juga mata hati. Anda pasti ingat!
Banyak “sempalan” yang latah, intelektualnyapun seakan terjamah. Menekankan
hanya satu ayat saja terus menerus dalam ajaran agama kita itu. Padahal
bukankah Al Quran di kumpulkan oleh Said Bin Tsabit tak sederhana yang kita
bayangkan dan ajaran itu tak punya kesimpulan sama sekali. Dan tak beraturan sama sekali.
Allah akan memberi hidayah
kepada kita semua.
Akhirnya menolak sudut
pandang yang berbeda. Padahal subtansinya sama, mereka juga menceritakan tentang
perbuatan baik sesama mahluk.
Sementara berdasarkan
tafsiran beberapa ajaran nabi, sejak jamannya. Banyak ayat pelarangan itu
sangat humanis dan manusiawi. Setelah nabi wafat, maka dituntutlah ilmu
pengetahuan manusia untuk tak sekedar tahu, menghapal tentang ajaran, tapi paling penting adalah
paham dan rasakan. Serta memiliki kepekaan seperti, kepekaan nabi saat
mengajarkan Islam yang dia maksud.
“ Ah, kafir..!”.
Mungkin kalimat seperti itu bakal muncul dibenak anda.
Aku diam saja tanpa
mengomentari lebih lanjut. Ternyata lama-kelamaan, ada tambahan dalam status ini.
Mudah-mudahan perbincangan dan perenungan ini mendapatkan hidayah.
Aku berkata, mari kita
pilih hidayah dan menerima keputusan alam semesta. Agar Allah merestui semua
jalan untuk orang-orang mau memperoleh cahaya kebenaran.
Soal kaffah atau
totalitas dalam Islam, Selalu merujuk kepada kualitas nilai inmaterial, bukan kwantitas material.
Saya yakin tuhan tak buta dengan
angka-angka seperti satu, dua, tiga dan seterusnya. Jadi tak perlu kita menghitungya berapa kali anda beribadah, dan
berapa kali anda shalat. Tapi berapa kali kau mengabdi pada manusia dan sejauh
mana alam. Hingga kau makin kagum apa yang dikatakan dalam firman-firman-Nya.
Tapi kan dalam
Ilmu pengetahuan kesalahan adalah wajib, agar ada keberlanjutan pencarian
kesempurnaan. Titik sentral ujung
penjelajahan
kalam Allah sampai keliang lahad ini bukan sekolah tapi ini adalah ilmu.
Bacalah dengan nama
tuhanmu yang menciptakan kamu dari segumpal darah.
Carilah sebanyak-banyaknya, dan gunakanlah secukupnya.
Ilmu itu disediakan
oleh Allah diatas bumi yang mereka ciptakan, tak mengenal tempat waktu dan siapa
pemiliknya. Bukankah kita perlu belajar sama Yahudi, Kristen, Hindu, Budha.
Karena, konon Islam itu pernah dipelajari oleh orang-orang seperti mereka. Dan
sekarang telah jadi miliknya.
Saya dididik secara
santri sejak dulu, tapi kini aku mulai merasakan ingin loncat. Dan menata
secara teratur keyakinanku terhadap agama ini.
Dari 30 Juz, aku merasa
begitu rugi, jika saya tak mampu merasakan kalam Allah (Ilmu Allah). Ajaran itu
tak sesempit apa yang saya bayangkan, seperti teks 30 Juz itu yang selalu
dilafazkan berulang-ulang sewaktu saya remaja, dan guru agama saya mencubit
paha saya, gara-gara selalu gagap menghafalnya. Dan banyak rahasia tersembunyi
didalamnya. Dan untuk mengenal tuhan lebih dekat kitapun harus memasuki hal-hal
yang rahasia, Karena tuhanpun begitu rahasia.
Maka, kenapa Islam
melarang mematerilkan tuhan. Karena tuhan bukan angka-angka.
Tuhan maha kreatif,
makanya tuhan ciptakan Adam dan mengajarkan kepadanya Ilmu dasar alam. Cukup
sampai disitu. Dan Nabi Muhammad meletakkan paham dan dia
pernah bersabda, kelak ummatku terpecah menjadi 71 golongan, dan cuma
satu yang selamat. (Pemegang Sunnah) Saya tak mau lagi terjebak pada persoalan
teks siapa itu pemegang Sunnah, karena jaman modern, banyak yang tak jujur.
Ketak jujuran sangat
beresiko selaku Islam, selalu kita gadang dan tawarkan. Pernyataan pertama,
bahwa Islam itu Universal, namun ketika saya menawarkan sebuah identas baru dengan bahasa. Kita tolak, dengan alasan harus ada hidayah Allah yang
menentukan. Saya pun tak suka menunggu hidayah. Tuhan bisa marah. Eh, malah
tuhan seperti diwakili oleh teman saya.
Allahu wa’lam
bissawab…….
NB: Aku berdoa, jika
ini benar, maka itu karena karuniamu. Jika itu salah maka itu adalah tugas saya
sebagai manusia senantiasa memperbaikinya..