Sabtu, 26 Maret 2011

Antang


Ada “tauwa” empat petak sawah. Padinya berusia ranum, sebelah kanan jalan orang-orang memancing hidup dipinngir danau. Kawasan pemukiman ini tak asing bagi saya, daerah ini bernama Antang. Sepuluh tahun lalu jalanan kesana ini aku selalu melewatinya.
Namun kini, aspal tua tak pernah letih selama 24 jam tengkurap itu sekarang berlubang-lubang. Bukan cuma itu, hujan membuat jalur pinggir kota ini jadi becek, dan laju kendaraanku jadi pendek-pendek. Sebuah mobil angkot menyelip, ia menurunkan penumpang dipinggir jalan. Ah, kurang ajar..! yah itulah kebiasaan sopir angkot, dan juga kebiasaan lainnya. Pikirku mungkin ia sedang buru-buru, ataukah sedang berebut penumpang.
Nafasku kini mulai lega.

Perang Dunia Maya Media Suplement


Dari awal membuatku “ Seakan” harus percaya. Kaki kanan sudah melangkah 60-70 persen depan computer. Saya makin berjarak dengan dunia sesungguhnya. Apa boleh buat itulah teknologi, sebagai media yang membuat kita harus bertemu seperti jendela “Lazuardi” yang terbuka.
Indonesia masih sibuk membicarakan dampak negatif positif internet, termasuk terhadap hubungannya dengan pendidikan anak, kesehatan. Karena benda ini boomingnya luar biasa. Soal isu politik saja tak bisa disangkal lebih merayap dibandingkan gerakan demostrasi mahasiswa selalu turun ke jalan. Buktinya presiden Mesir Husni Mubarak memutus akses situs jaringan sosial dinegaranya untuk membendung gerakan bawa tanah unjuk rasa yang akan menggulingkan dirinya. Mirip seperti seorang teman memutuskan pertemanan di situs sosial itu dengan mantan pacarnya. Agar dirinya tak ada lagi akses membicarakan kisah cinta dimasa lalunya, namun.

Pada kasus hukum pertama yang aku ingat, gara-gara alat canggih ini terjadilah atas Prita, ia “membobroki” pelayanan rumah sakit Internasional OMNI, mengakibatkan dia harus berhadapan dengan hukum pencemaran nama baik rumah sakit yang harus menjaga martabatnya. Ternyata persoalan –persoalan subtansial Prita terungkap masuk lewat dunia maya ini menjadi petunjuk tuk mengungkap kasusnya yang nyata bisa di meja hijaukan.

Di negara maju sistem online dipercaya lebih agresif dan praktis, termasuk belanja, mengirim kado ulang tahun kepada kekasih dan sahabat sangat efektif. Juga menggantikan surat menyurat saat jadi pelajar dulu. Tak perlu lagi membeli kertas warna warni lembut yang bergambar kembang dan mengirimnya lewat kartu pos. Juga tak ditemukan lagi ilustrasi cerpen majalah-majalah remaja bergambar surat-suratan. Kita jadi tergantung dengan alat buatan manusia ini.

Soal informasi terbaru baru aku tahu kalau ada kabar anggota DPR plus MPR, gara-gara media online seperti ini. Karena beberapa hari ini aku malas nonton siaran TV dan baca koran pagi. Anggota legislatif kita ingin menyaksikan langsung yang “nyata”, mengunjungi negara lain dalam rangka studi banding. Pengguna Internet terlibat bereaksi, dan meminta legislatif itu menggunakan saja pasilitas layanan internet untuk studi banding. Internet mengajarkan orang berperan sempit tapi kerja praktis. Termasuk menpelajari etika (Ilmu kurang lebih yang aku tahu: bagaimana seharusnya berbuat) pada sistem demokrasi negara moderen katanya dari Yunani kota berperdaban tua itu. Padahal seharusnya agenda serius studi banding,ss bisa mengurangi beban termasuk jika biaya keluar negri harus dilakukan anggota legislatif mengatasi konflik-konflik dan masalahnya. Dibanding mengakses internet dan membanding-bandingkan etika Yunani dalam kantor dan dalam rumah saja.

Mereka boleh memilih, tapi jangan salahkan masyarakat mengkritisi dimasa-masa teknologi canggih ini apalagi studi bandingnya, hanya menguras uang Negara. Bukan malah serius mewakili rakyat, justru melakukan piknik untuk rumah tangga pribadi. D

Padahal Negara maju belanja, bergaul, dan belajar lewat online, itu sehari-hari sudah dilakukan. Barangkali tersisa, umrah ketanah suci online berlaku berlaku. Sebab, jangan sampai kita bisa dimarahi orang-orang Islam sedunia gara-gara dikira bikin aliran baru. Apalgi ziarah spiritual seperti haji, kecuali konsep cara bertuhan para sufi yang hampir mirip dunia maya.

Para anggota dewan kita akhirnya dikritik secara online, facebook dan twetter mencela. Karena persoalan dalam negri juga cukup serius harus diurus. Satu sisi studi banding, buang-buang anggaran negara, padahal bisa biayai yang lain. Namun kabar terus berkembang apa mau dikata ternyata soal studi banding sudah terlanjur dianggarkan.

Akhirnya“ Wakil rakyat kita bodoh, kenapa harus belajar etika dinegri orang, apakah selama ini kita tak punya etika dalam negri sendiri,” Kata Pak Natsir yang ngotot celoteh tak mau tahu sama sekali ilmu etika tergolong canggih sekelas barat. Celoteh itu saya dengar dari pos ronda samping kost saya.

Kesibukan kerja moderen orang-orang mengharuskan mengakses banyak informasi tambahan lewat internet. Bukan dunia nyata saja, karena dunia nyata berubah menjadi dunia maya dan digantikan oleh laporan dan perangkat internet menjadi dunia yang sungguh-sungguh ada menemani hari-hari kita. Anda dan saya pastinya harus terlibat biar tak tertinggal jauh biar tak gaptek.

Hanya saja yang berbeda didunia nyata, kita bisa melakukan gerakan pisik membuat separuh badan kita bisa berolah raga. Dan sekaligus sedikit meminimalisir radiasi teknologi jika terus terusan akses internet. Pisik kadang membutuhkan gerak otot-otot tak cuma ditempat duduk melulu namun bersososialisasi dengan tetangga, juga saudara se-adam dan se-hawa pasti kita bisa menikmati dunia natural ciptaan tuhan ini indah.

Kebebasan berpendapat saja memilih sebuah jalur khusus yaitu dunia maya. Minimal mengurangi rasa pesimisme dan kekecewaan yang menumpuk dan membebalkan otak.
Tapi, betulkah? dunia maya seperti ini mengikis rasa empati kita didunia nyata. Allahu Wa,lam tuhan luar biasa menciptakan otak kepada kita semua. Namun menurut rekan saya kita akan kembali, tergantung kebutuhan dan latahnya tubuh kita. Karena manusia selalu ingin bervariasi dalam hidup ini. Dan kelak kita ingin merasakan langsung tubuh yang lainya didunia yang sesungguhnya. Ramalan tentang teori ini terdapat dalam film yang pernah kutonton diperankan Will Smite. Ketika robot-robot menguasai bumi, dan keputusanya robot ini mampu menciptakan keteraturan menjaga kedamaian dibandingkan manusia. Dan saat krisis, robot ini melanggar karena ingin bercinta. Ini mitos pencitraan yang coba dibangun manusia teknologi zaman ini. Dan ternyata ia ingin merasakan cinta seperti apa yang dilakukan manusia pada umumnya.

"Tahajjud" Kata Nurani Si- Panglima Kecil

Catatan 30 Desember 2010

Karena tubuhku berangin-angin, akhirnya aku putuskan pulang kerumah saja malam itu. Lalu kuingat pelajaranku tentang “tahajjud”. Aku mulai tahajjud buat mengenang masa lalu. Jam waktu malam berdentang, sebelumnya aku ritual tubuh. Eh, kembali lebih dulu memanaskan air dengan kompor tetangga kamar kost, dan meramu segelas teh lagi. Aku mulai bersama Hening, dan posisi dudukpun kuperbaiki seperti gaya “dewa” seperti gaya para tuhan-tuhan agama Hindu dalam film-film India. Dulu aku selalu bergumam mengantarnya atas nama cinta. Arrahman Arrahiem, aku juga masih suka dan salut dengan kalimat ini. Karena kalimat Arrahman dan Arrahiem sangat pilosofis sangat "semestais". Saya menafsirkan kalimat ini adalah kasih sayang biasa dan cinta luar biasa dan Allah menitipkan itu dengan namanya yang suci.
Ditengah-tengah larut tahajjudku, tiba-tiba pada pertengahan aku tak konsentrasi. Buyar seketika, bagaimana jika aku terbang ke "Lauhil Mahfudz". Disana banyak Ilham terbuka tanpa rahasia sama sekali bersama tuhan. Ah, aku bukan manusia superbiasa seperti para pendeta dan orang-orang suci, menyayangi ruhnya diabandingkan jazadnya. Karena jazadnya dinilai sekedar median. Dan semesta telah menjamin atas keyakinannya. Allahu Wa' lam.
Yang penting muncul dalam isi kepalaku, bagaimana gaya saya jika tahajjud dengan model apa saja seperti ini, boleh. Akhirnya dalam benak saya aku harus cari cermin. Biar bisa melihat batinku bersama jalan ke diri.
Tentang pentingnya cermin, selalu saja membuatku mulai risau dan tak percaya dengan diriku sendiri. Aku bilang bukan. Antara batin dan dirikupun berdebat. Dan ditengah-tengah perdebatanya keras itu, tiba-tiba Hening datang melerai dan memediasi. Menurutnya untuk apa aku cari cermin kalau, kalau batin bisa tahu tentang diriku. Hening, untung kau ada disini. Ceritakanlah kepadaku tentang wajahku yang detil, dan mainkanlah ketukan nada di jantungku.
Coba masuk lagi ke dalam kasak-kusuk kesunyian itu, disana pasti akan kutemukan suara. Suara yang tak pernah kau dengar sebelumnya. Aha, suara kecil berbisik lembut dan tegas lirih seperti saat aku jatuh cinta. Dan ternyata ia bisikan hati, iramanya menegaskan tentang kebenaran apa yang harus aku lakukan malam ini dan apa tanggung jawabku kelak kearah mana cinta itu kugerakkan. Tapi kadang aku panik saat-saat seperti itu saat prahara kerinduan pada seseorang lalu memorak morandakannya. Suara itu timbul tenggelam dan tiba-tiba berganda, aku mencarinya namun kesulitan menemukannya kembali dimana.

Yah, Hening aku percaya kau membawa keinginanku seperti gergaji, walaupun semua tak memungkinkan, maka kudiam saja. Keadaanku ambigu, tapi kau halus tajam bak kerikil kala gelap. Tanpa suara ini membimbingku tuk menetapkan sesuatu walaupun aku tutup mata.

Mencair dalam Kehidupan

Catatan Juni 2010 lalu.

Tidak tau Ini tulisan apa, tulisan ini meloncat sana sini seperti katak di atas tanah kering setelah itu ketanah lembab yang basah. Kata rekan saya, otak seniman memang bolong-bolong kadang tak logis, cenderung intutif dan tiba-tiba holistik. Kadang melampaui musim, kadang tinggal membatu, dan kadang kemayu sangat romantis melangkolis. Kadang meleleh, menagis, senyum,marah, tertawa keras, terkekeh-kekeh dan sinis. Pikiran abnormal bisa mencairkan kehidupan ditengah carut marutnya kuasa gagasan formalisme.Dan kadang terbang bebas seperi burung. Tulisan ini bukan sulit, tapi rumit dikendalikan.

Dari beranda situs jaringan sosial mengintruksikan “ Tulis status anda,” perintahnya sangat menghibur. Akupun mencobanya. Tapi, aku tak tahu mau tulis apa. Benda elektronik ini membatasi separuh jiwa dan tubuhku untuk menjadi makhluk sosial yang sungguh-sungguh. Berjam-jam kemudian saya belum menulis apa-apa kecuali membolak-balik isi beranda facebook, aku penasaran sendiri melihat banyak status yang aneh, iseng dan kadang curhat itu seperti hiburan saat penat seperti ini. Aku jadi bertanya-tanya begitu banyak sekali orang bikin unek-uneknya sendiri seperti pada orang jenuh, tapi sebenarnya tak jenuh karena justru tumpah ruah disini. Bilang ini yang bilang itu, tapi aku tak biasa bilang apa-apa disini. Aku meloncat kelembar berikutnya cari informasi lain saja dari website informasi pengetahuan dan wawasan siapa tau berguna buat saya pribadi. Masalahnya aku sulit curhat, kecuali tulis penggalan puisi kubebasan sendiri. Aku gampang terharu, maka aku menghindari bahasa yang terlalu dalam dan berperasaan karena saya tak suka terjebak dalam hanyut. Generasi saya memang tetap beda, apa boleh buat interaksi ini harus berbenturan baru berbaur kembali. Assimilasi atau mutualisme simbiosa adalah dapat membentuk kekuatan masyarakat agar kita bisa saling percaya.
Kata teman, penggalan-penggalan kata ini bisa menggantikan SMS Handphon yang dulu selalu bisa pencet tombol macam-macam, lalu kirim sebagai pemberi kabar tentang suara hati kita. Kini dengan monitor 14 inci lagi hari ini, menjawab keluh kesah
yang makin luas menggelembungkan kepala tapi makin minim di depan mata. Oh, dunia seperti ini dalam kulkas, rak-rak berisi minuman dingin, kue dingin, buah-buahan dan ice krim . Ada segelas kopi susu hangat depan meja saja, saya bergaul dan bercengkrama dengan apa saja disana lebih solid dan akrab, dibandingkan menulis status kadang bingung mau tulis apa. Yah, mungkin belum bisa mewakili diriku.




Mungkin "Over Genit "

Betulkah mahasiswa sekarang kurang genit atau terlalu genit, kurang progresif memotivasi keliaran Intelektualnya. Dulunya kritis sekarang sebagian apatis, reaktif bahkan sensitif. Mahasiswa disebut-sebut sebagai golongan pra-mapan ini biasanya independen, bebas dan mandiri. Karena belum terikat dengan siapa-siapa. Cara berpikir pada umumnya kritis dengan platform keilmiahan mereka punyai dan tak mudah percaya begitu saja tanpa menelaah. Saat tampil, menyelami persoalan dengan cara intelek. Semangat ke Maha- siswaan mereka cukup berani kemana saja, karena tak terikat status sosial yang final, ia siap menjadi lokomotif bukan jadi gerbong. Bisa bekreasi untuk melihat beragam dimensi, saat masyarakat sudah jenuh tak peduli membuat kesimpulan sendiri. Saat itu pula mahasiswa membuat tesa baru umum, lagi-lagi atas kebijakan pemerintah kembali dikritik agar tak tertidur. Karena seorang intelek tersimpan gambar-gambar yang “ideal-ideal” dibenaknya apa yang pantas dan apa yang seharusnya.

Belakangan banyak orang menilai gerakan mahasiswa identik gerakan preman “ Premanisme”. Karena fakta akhir-akhir ini memang sulit dibantah. Namun catatan penting semangat menggebu-gebu adalah motivasi terkuat ber “ideal-ideal “ hanya terdapat dalam diri mahasiswa. Anarkisme dengan sikap idealitas itu perlu di garis bawahi. Kalau mahasiswa disebut preman perlu kita ketahui motivasi alas pikir apa status baru itu disandangnya. Kalau seorang preman bersemangat, alas pikirnya apa?. Mahasiswa turun kejalan mengkritisi kebijakan pemerintah betulkah saat ini beralas pikir seperti itu. Atau sama dengan apa yang dimiliki alas pikir preman? Saya sebagai masyarakat awam menilai, tergantung trend opini saja. Mari kita kroscek masing-masing. Kalau alas pikirnya benar sama seperti. Ok, kita ucapkan selamat tinggal sandangan gelar mahasiswa sebagai agen social control, perubahan dan pembaharuan. Maka, kita amini mahasiswa itu adalah betul, preman. Walaupun idealnya dua status aktifitas, dan kata sandang kerja ini bertentangan makna, mahasiswa dan preman. Ini juga muncul kebijakan kampus juga memelihara citra, karena selalu disebut kampus itu kampus preman.

“ Masa chaos adalah solusi,”
Zaman Ini sikap efektif untuk mendapatkan jalan terang dan perhatian adalah “kacaukan”, atau “Chaos”, seperti melawan aparat kemanan saat aksi semisal adalah bentuk reaksi sikap dilapangan butuh keterangan. Karena obyek keritikan menemui jalan buntu. Tugas mengamankan situasi adalah tanggung jawab aparat menjadi beban kocar-kacir, dan serba salah . Mahasiswa benar, semangat bereaksi berlebihan terhadap kebijakan yang belum terlalu berpengaruh terhadap kontrak pribadinya sangat pas untuk pemuda. Apalagi status umur dewasa enam belas tahun keatas sudah dianggap sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama dengan orang lain berkumpul dan angkat bicara. Mengacau, adalah menjadi bahasa untuk menuju pembebasan atau ungkapan depresi menggantikan bahasa oral saat ini. Adalah jembatan penghubung solusi-solusi yang ditunggu-tunggu. Melihat dari sudut pandang kacamata “kuda” saja saya kira kita kurang fair, sosiolog, politikus dan budayawan harus memberi pandaangan atas penomena ini demi tujuan jangka panjang.
Kesan “preman style” makin menjadi-jadi, jika terlalu larut sehingga harapan besar agar tak menghilangkan subtansi mahasiswa pada khususnya, dan kian mengalami kekeringan dipagi buta. Cermin untuk melihatnya sendiri adalah soal “gaya”aksi. Kita masih ingat pemerintah segera susun Protap penaggulangan aksi tembak ditempat setelah peringatan jika itu menakutkan. Siapa lagi yang bisa mengkritik pemerintah kedepan. Kalau pemerintah makin anti kritik tunggulah munculnya tirani berkepala dingin. Kedepan kita bisa mengembangkan sebuah motto, rawatlah kebebasan kita tolak kekerasan. Mungkinkah? Kita coba bikin perbandingan, aksi mahasiswa diluar negeri memang begitu seragam isu yang massif disaat memang mengerucut persoalan inti. Tak lupa pula coba kita kembali persolan dasar yang paling subtansi bahwa usia muda punya kebebasan berpendapat dan angkat bicara.
Kalau mahasiswa berarti bolehlah juga disebut pelajar. Jika anarkis beri skor preman. Jika pertanyaanya begini, apakah mahasiswa sama dengan pereman?. Jawabanya, belum tentu, ataukah preman itu sama dengan mahasiswa, kecuali mahasiswa sendiri menyamakan derajatnya dengan itu. Karena preman belum bisa kita garansi sebutan pelajar. Kecuali ada preman “gaya”, mahasiswa. Jadi dua status yang berbeda antara preman dan mahasiswa jangan dikacaukan. Mengacaukan istilah itu, juga akan sama mengacaukan persepsi kita mahasiswa sebagai pelajar yang terdidik. Sambil kita mencari siapa preman sebenarnya…
Kita tak perlu bicara panjang lebar andilnya dalam sejarah perjuangan para pelajar mahasiswa ini tahun 1920 an 1945. 1950, dan 1998. Karena semua orang merasa sudah paham. Namun dua tanggung jawab mahasiswa adalah mensukseskan pendidikanya dan mematangkan cara berpikirnya lewat gerakan kepekaan moral dan social agar menjadi pribadi pembangun. Bahkan dalam essai pikiran muda Nurkholis Madjid “Islam Kerakayatan dan Ke Indonesiaan 1994” menyebutkan secara sosiologis mahasiswa adalah bahan manusia terbaik dalam suatu bangsa. ( The best human material of Nation) dia disebut sebagai elit strategis (kutipan essai pikiran Cak Nur) maka dari itu banyak kalangan elit mapan kepincut berebut hati ingin menguasainya segala macam cara. Kelompok kelas mapan ini ingin memanfaatkanya, Karena gerakannya memilki kelas pendongkrak.
Sejarah beberapa negara lain seperti terlibatnya peran mahasiswa menumbangkan rezim dictator Rhee Korea Selatan, pergantian perubahan militer ke sipil yang demokratis di Muangthai. Itu menunjukkan gerakan itu efektif dan menakjubkan. Namun satu catatan penting hulu-hulu sungai kecil saya, mahasiswa memilki kebebasan berpikir dan bertindak yang ideal-ideal. Tanpa melemahkan dengan isu siapa dibalik lorong gerakan yang ada, yang penting mahasiwa selalu mau menemukan fakta peran gerakannya sendiri.

( Subhan Makkuaseng 4 November 2009.)

Tradisi Korupsi Atau Budaya Korup



Kabar Senin (14/2) itu,  seorang teman  berinisial (SX) datang ia menyatakan telah lolos sebagai pegawai negri sipil (PNS) di daerahnya dia menempati posisi bagian bendahara keuangan bagian kantor Dinas Kebersihan. Ia mengaku sangat grogi menempati posisi itu dengan segala tetek bengek keuangan. Karena tanggung jawabnya cukup beresiko, termasuk jika pemeriksaan pertanggung jawaban laporan pengeluaran keuangan daerah diminta.
Seperti SX membeberkan ada banyak pengajuan dana proposal bagi dia kadang menurutnya sangat tak masuk diakal peruntukannya. Ia mengambil satu contoh seperti pengadaan mobil  kebersihan, atau penggantian alat-alatnya.
“ Seperti proposal dana penggantian alat semacam kanpas kendaraan mobil kebersihan, namun kadang berulang sampai dua kali dan tiga kali dengan jarak waktu pengadaan tak masuk di akal , “ ujarnya kepada saya hari itu.
Itu baru satu kasus, belum lagi yang lainnya. Hal seperti ini biasa saja bukan rahasia umum pada dunia gosip instansi pemerintahan. Untuk saling menjaga LPJ nanti agar aman, saya yakin instansi itu punya cara sendiri dengan menggunakan pelampung penyelamatan agar pertanggung jawabanya sah dan “ sehat” ke depan, mereka saling jaga. Saya cuma mengatakan kepada teman saya ini moga-moga bisa beradapatasi dengan hal-hal seperti walaupun sangat miris kedengarannya.

“Ce, cieh..luar biasa. Kronis,” renungku dalam hati. Kemudian aku manggu-manggut seandainya saya yang ada disitu mau tak mau, pasti terpaksa juga harus selaraskan kejadian seperti itu. Saya pasrah saja namanya saja PNS baru, harus beradaptasi dong…
Itulah pengantar awal bagi para PNS dan pejabat baru memasuki pintu birokrasi pemerintahan termasuk teman saya ini, pastinya terasa ganjil soal seperti itu. Dan mau tak mau terpaksa harus beradapatasi dengan ke biasaan-kebiasaan itu kelak. Mesin itu lambat laun berjalan dengan sendirinya lajunya. Saya tak menyalahkan teman saya ini, karena apapun juga ini adalah sistem jaringan korupsi komplex. Dan apalah artinya teman saya ini sebagai bawahan yang baru masuk bekerja sebagai aparatur pemerintah.
Kata Sajipto Rahardjo dalam bukunya Hukum Progresif yang diterbitkan Kompas press, perilaku korupsi yang mengakar bak benalu ini mengarahkan Negara menuju prosesi bunuh diri, kelak negara mati dan kemudian Koruptor ikut mati didalamnya ketika suatu saat tak ada lagi uang kas Negara yang bisa di korupsi.

Makassar, 17 Pebruari 2011

Sabtu, 19 Maret 2011

Tu Manurung adalah Mitos pihak Ketiga

Subhan Makkuaseng, SH

Cerita ini ternyata paling menakjubkan kemunculanya tokoh Tu Manurung yang mewarisi raja-raja berikutnya bertepatan dengan konflik juru selamat memberi ketentraman kemakmuran kerajaan yang bertikai.

Tu Manurung adalah orang dipercayai turun dari langit, memberi solusi sebagai bentuk pengesahan dan legalitas kerajaan. Memang diakui konsep itu adalah legalitas kerajaan. Menurut Dosen Luar Biasa Ilmu Sejarah Unhas, Saharuddin kerajaan itu sudah sejak masa lampau eksis, dan mitos Tu Manurung adalah warisan raja-raja.

Sejak masa lampau dalam konflik kerajaan selalu melibatkan pihak ketiga yang disebut Tu Manurung. Dan menurut kisah kolektif masa lampau Tu Manurung ini terdapat hampir ada pada semua kerajaan di tanah Sul-sel seperti pada kerajaan, Gowa, Bone, Soppeng, Wajo, Tanete dan kerjaan lainya.

Kontelasi politik masyarakat Sul-sel ini, namun pada dasarnya Tu Manurung juga sebagai hamba. Seperti dikisahkan pada kerajaan Bone pada abad XII dan XIV. Dikisahkan tujuh unit kerajaan saling bertikai dan saling memberi pengaruh dan sulit menentukan siapa yang layak jadi raja. Unit-unit kerajaan itu disebut “ Kalula”.

Setelah perang terjadi terus menerus, tiba-tiba terjadi Guntur, kilat, angin kencang juga gempa bumi. Tu Manurung ditemukan ditengah tengah lapangan dengan pakaian putih dan tidak diketahui asal usulnya, dan para warga meminta kepada orang ini menjadikan dia sebagai pemimpin mereka untuk mendamaikanya. Namun Tu Manurung ini menanggapi kalau permintaan warga itu sangat mulia namun, ia mengatakan bahwa sebenarnya dirinyapun juga hamba sahaya. Dan jika rajaku yang kalian maksudkan maka aku akan mengantarmu kesana. Karena saya hanyalah hamba.

Saya sendiri tak bisa mengukur, moga-moga bukan dari jaman peodal. Selain klarifikasi, apakah To Manurung berkarakter politisi, akademisi, ataukah profesi. Karena semua ini potensial untuk selesaikan masalah.
Ternyata sosoknya tak diketahui, karena dia muncul tiba-tiba dilapangan berbaju putih, berarti dia orang lain. Untuk memperkenalkan To Manurung abad modern ini, dengan ketentuan bahwa To Manurung berintikan adalah mediator, yang tak punya sama sekali kepentingan kekuasaan. Sebab jika ia punya kepentingan kekuasaan, pasti dicurigai berpihak. Buktinya dia sendiri menyebut sendiri dirinya sebagai hamba. Sambil mengajak orang kesuatu tempat dimana tuannya berada.
Sisi lain untuk sementara kehadiran To Manurung bisa jadi masih membingungkan, apalagi ia sendiri pribadi nampak bingung, ketika dimintai sebagai juru damai. Secara simbolik, kebetulan bahwa dia memiliki kekuatan terang, mungkin baju putih.